Mengenai Saya

Foto saya
Pangandaran, West Java, Indonesia
Simple

Kamis, 19 Januari 2012

Teman Hidup

Segala puji bagi Allah yang telah mentakdirkan segala bentuk pertemuan dan perpisahan. Yang telah menentukan segala bentuk kehidupan dan kematian.
Agar manusia dapat bersyukur terhadap berbagai macam kenikmatan dan kelapangan sebelum datang kepadanya ujian berupa kesulitan.
Shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada nabi kita Muhammad Shalllahu ‘alaihi wasallam karena telah mengajarkan kepada kita makna sesungguhnya dari hidup dan kehidupan.
Telah menjadi ketentuan Allah bahwasanya manusia seluruhnya akan melewati berbagai perjalanan panjang menuju janji Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dari alam ruh kita dipindahkan ke alam rahim kemudian dilahirkan oleh ibu kita tercinta. Setelah menginjakkan kaki di dunia ini kita pun tumbuh. Dahulunya kita adalah bayi mungil kemudian beranjak remaja, dewasa, membangun keluarga kemudian menjadi renta hingga akhirnya kita semua akan mati.
Maka beruntunglah mereka yang semasa hidupnya selalu berada di bawah cahaya hidayah dan sungguh merugi mereka yang hari-harinya di dunia ini hanya terlukiskan oleh tinta-tinta kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya.
Dalam perjalanan kita di dunia ini. Tentunya kita hidup dalam sebuah lingkungan sosial. Dan sebagai makhluk sosial kita sangatlah membutuhkan teman dan pergaulan. Di sekolah, di tempat kerja ataupun di lingkungan tempat tinggal kita.
Kita selalu berinteraksi dengan orang lain. Sehingga tak diragukan lagi bahwasanya teman dan pergaulan merupakan elemen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter jiwa seorang manusia.
Islam, sebagai agama yang sempurna, sejak dahulu telah menjelaskan kepada kita tentang konsep pergaulan sosial yang ideal. Karena telah nyata dari masa ke masa bahwa pergaulan dengan teman atau masyarakat yang baik akan mendorong seseorang itu menjadi individu yang baik.
Sebaliknya, bergaul dengan teman atau masyarakat yang buruk akan menyeret seseorang kepada keburukan demi keburukan. Cepat atau lambat.
Rasulullah bersabda:


“Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi tidak akan merugikanmu baik kamu membeli minyak wangi tersebut atau tidak, engkau pasti akan mencium darinya aroma yang semerbak. Sementara dekat dengan pandai besi hanya akan membuat bajumu gosong atau paling tidak kau akan menghirup bau yang tidak sedap darinya”(H.R.Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwasanya dengan bergaul dengan teman yang baik kita juga akan menjadi baik. Kalaupun tidak menjadi baik, paling tidak kita akan memperoleh kebaikan yang dilakukannya.
Sedangkan bergaul dengan teman yang jahat hanya akan membuat kita terjerumus ke dalam kejahatan. Kalaupun mungkin kita tidak terjerumus, paling tidak kita akan merasakan akibat dari kejahatan yang dia lakukan.
Begitu pentingnya masalah pergaulan ini sampai-sampai Rasulullah menjadikan teman sebagai salah satu parameter kepribadian seseorang. Dengan siapa seorang itu bergaul akan menjelaskan kepada kita gambaran kepribadian orang tersebut. Rasulullah bersabda:
“Kondisi keagamaan seseorang sangat tergantung pada kondisi keagamaan temannya. Maka hendaknya kamu memperhatikan dengan siapa sebenarnya kamu tengah bergaul”(HR.Abu Daud, At-Tirmidzi dan Hakim dengan sanad Hasan)
Sebuah bait syair arab pun telah menyebutkan hal yang serupa:
“Jangan kau tanya langsung tentang bagaimana seseorang itu, tapi cukup tanyakan bagaimana temannya, karena sesungguhnya seseorang itu akan mengikuti langkah-langkah temannya.”
Maka dari itu marilah kita kembali menata pergaulan kita dalam hidup ini. Dengan siapa kita bergaul dan dengan siapa kita memberikan loyalitas. Memang berat bagi seseorang untuk melepaskan diri dari lingkungan dan pergaulan yang buruk.
Tapi marilah kita usahakan sejak sekarang. Mumpung semua belum terlambat. Sebelum pergaulan kita yang keliru menjerumuskan kita ke dalam penyesalan yang tiada akhir di akhirat kelak. Bukankanh Allah subhanahu wa ta’ala berfirman memperingatkan kita akan hal ini?!:
“Dan hari itu ketika orang yang zalim menggigit dua tangannya [karena menyesal], seraya berkata: “Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrabku. Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”(Al-Furqan:27-29)



Di antara bentuk pergaulan yang sangat menentukan masa depan suatu masyarakat adalah pergaulan dalam sebuah keluarga. Yaitu sejauh mana sebuah keluarga terbangun atas dasar saling mencintai karena Allah, setiap individu di dalamnya senantiasa patuh terhadap aturan-aturan Allah dan saling bekerjasama untuk mencapai Ridho-Nya.
Tanpa itu semua maka sebuah keluarga hanya akan merusak setiap individu di dalamnya yang dengannya akan rusak pula kehidupan bermasyarakat.
Maka dari itu sejak awal proses membangun sebuah keluarga haruslah dilandasi oleh rasa saling mencintai karena Allah. Sehingga hubungan kasih sayang di antara anggota keluarga akan terus berlanjut hingga di akhirat kelak yang kekal abadi.
Tidakkah kita sering melihat keluarga yang dibangun hanya berdasarkan harta semata. Maka seiring berkurangnya harta maka hubungan cinta kasih sesama anggota keluarga pun akan berkurang. Kita juga sering melihat keluarga yang dibangun hanya atas dasar ketertarikan fisik antara sepasang suami-istri sahaja.
Maka seiring pudarnya daya tarik jasmani karena termakan usia maka akan pudar pula kasih sayang diantara mereka berdua. Kita lihat pula sebagian keluarga yang dibangun demi mengejar status sosial yang terpandang.
Maka kasih sayang diantara mereka pun tak kan abadi, ia akan berubah seiring putaran roda kehidupan yang tak pasti.
Beda halnya dengan sebuah keluarga yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah. Sepasang manusia bersatu demi sebuah cita-cita agung yaitu menggapai Ridho-Nya. Maka keluarga yang demikian ini akan memetik hasil yang mempesona tidak hanya di dunia yang fana ini namun berlanjut terus hingga hari yang mana Allah telah berfirman tentangnya:
“Para kekasih pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(Az-Zukhruf:67)


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/teman-hidup.html

Ya Robb… Aku telah Bermaksiat Padamu, namun Engkau tak Menegurku.

Diriwayatkan bahwa seorang pendeta Bani Israil pernah bermunajat kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah betapa banyak aku telah bermaksiat kepada-Mu namun Engkau tidak sedikit pun menimpakan balasan atas diriku”.
Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi yang diutus saat itu : “Katakan kepadanya : “Betapa besarnya balasan yang telah Aku timpakan kepadamu, sedangkan engkau tidak menyadarinya. Bukankah Aku telah mengharamkan bagimu manisnya beribadah kepada-Ku, sehingga engkau tak pernah lagi merasakan nikmatnya bermunajat kepada-Ku”. (Hilyatul Auiya’ karangan Al Hafidz Abu Nuaim Al Ishfahani Juz 10 halaman 168)
Abdullah Bin Abbas Rodhiyallohu 'anhuma berkata :
“Wahai orang yang berbuat dosa, janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu. Ketahuilah bahwa akibat dari dosa yang engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dari dosa dan maksiat itu sendiri”.
“Ketahuilah bahwa hilangnya rasa malu kepada malaikat yang menjaga di kiri kananmu saat engkau melakukan dosa dan maksiat, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Sesungguhnya ketika engkau tertawa saat melakukan maksiat sedangkan engkau tidak tahu apa yang akan Allah lakukan atas kamu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Kegembiraanmu saat engkau melakukan maksiat yang menurutmu menguntungkanmu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Dan kesedihanmu saat engkau tidak bisa melakukan dosa dan maksiat yang biasanya engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dosanya dosanya dari dosa dan maksiat itu”.



“Ketahuilah bahwa perasaan takut aib dan maksiatmu akan diketahui orang lain, sedangkan engkau tidak pernah merasa takut dengan Pandangan dan Pengawasan Allah, adalah jauh lebih besar dosanya dari aib dan maksiat itu”.
“Tahukah engkau apa dosa Nabi Ayyub sehingga Allah mengujinya dengan sakit kulit yang sangat menjijikkan selama bertahun-tahun, ditinggalkan keluarganya dan habis harta bendanya ? Ujian Allah itu hanya disebabkan karena seorang miskin yang didzalimi datang meminta bantuan kepadanya, tetapi Nabi Ayyub tidak membantunya”. (Suwar min Hayatis Shohabah jilid 3 hal 60 - 61)
Ubadah bin Nasyi meriwayatkan :
“Suatu hari aku menemui Syidad Bin Aus Rodhiyallohu 'anhu di tempat ia biasa sholat, aku dapati ia sedang menangis tersedu-sedu. Lalu aku bertanya : “Wahai Abu Abdurrahman, apa yang telah membuatmu menangis ?”. Beliau menjawab : “Aku menangis karena teringat hadits Rasulullah, suatu hari aku bersama beliau, tiba-tiba aku lihat perubahan raut wajah beliau, lalu aku bertanya :
“Ya Rasulullah, apa yang membuatmu mengerutkan wajahmu ?”. “Aku takut terhadap perkara yang akan terjadi pada ummatku sepeninggalku”. Jawab Rasulullah. “Apakah perkara itu ya Rasulullah ?”. “Syirik dan syahwat yang tersembunyi (kecil)”. Jawab beliau. Lalu aku bertanya lagi : “Ya Rasulullah, apakah umatmu akan berbuat syirik sepeninggalmu ?”.
“Wahai Syidad, mereka mungkin tidak menyembah matahari, bulan, berhala atau batu, tetapi mereka memamerkan amal ibadah mereka di hadapan manusia (riya’)”. Aku bertanya : “Ya Rasulullah, apakah riya’ termasuk syirik ? “Ya”, jawab beliau. “Lalu apakah yang dimaksud dengan syahwat yang tersembunyi”, tanyaku lagi. “Yaitu ketika seseorang telah berniat puasa sunnah di pagi hari, lalu di siang hari ia melihat berbagai macam godaan syahwat dunia (makan, minum, jima’ dsb –pen-) lalu ia membatalkan puasanya. (Hadits Hasan Shahih Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak)
اَلَّلهُمَّ إِلَيْكَ نَشْكُو ضُعْفَ قُوَّتِناَ.. وَقِلَّةَ حِيْلَتِناَ.. وَهَوَانَناَ عَلىَ النَّاسِ.. أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّناَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah, hanya kepada-Mu kami mengadukan lemahnya kekuatan kami, sedikitnya daya upaya kami dan betapa rendahnya kami di hadapan manusia (karena dosa-dosa kami). Engkaulah Rabb orang-orang yang teraniaya, Engkaulah Rabb kami dan Engkaulah Yang Maha Pengasih di antara yang mereka-mereka yang mengasihi”.
Ukhuwah fillah


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/ya-robb-aku-telah-bermaksiat-padamu.html

Status Anak Hasil Zina

Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari Perbuatan Zina”, sebagai berikut:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?
(Fulanah di Solo)
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur: 3:


الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112): “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’2 -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:



لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).


Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh.


Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya6.
4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?



Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.
2 Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
3 Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dirinya jika suaminya benar.
4 Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
5 Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
6 Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/status-anak-hasil-zina.html

HATI ibarat RUMAH

Ada 3 macam rumah, Pertama: Rumah Raja, di dlmnya ada simpanannya, tabungannya serta perhiasannya.



Kedua: Rumah Hamba, di dlmnya ada simpanan, tabungan & perhiasan yg tidak spt yg dimiliki seorang raja.
Dan ketiga: Rumah Kosong, tidak ada isinya..
Jika datang seorang pencuri, rumah mana yang akan dimasukinya? Apabila anda menjawab, ia akan masuk rumah yang kosong, tentu suatu hal yg tidak masuk akal, kerana rumah kosong tidak ada barang yang boleh dicurinya. Kerana itulah apabila dikatakan kepada Ibnu Abbas r.a. bahawa ada orang-orang Yahudi mengatakan bahawa di dalam solat, mereka 'tidak pernah terganggu', maka Ibnu Abbas berkata: "Apakah yang mampu dikerjakan oleh syaitan di dalam rumah yang sudah rosak?".Bila jawapan anda adalah: "Pencuri itu akan masuk rumah raja." Hal tersebut bagaikan sesuatu yang hampir mustahil, kerana tentunya rumah raja dijaga oleh penjaga dan tentera, sehingga pencuri tidak mampu mendekatinya. Bagaimana mungkin pencuri tersebut mendekatinya sementara para penjaga dan tentera sentiasa bersiap sedia di sekitar raja?
Sekarang tinggal rumah kedua, maka hendaklah orang-orang berakal memperhatikan permisalan ini sebaik-baiknya, dan menganalogikannya (rumah) dengan hati, kerana inilah yang dimaksudkannya..Rumah Kosong iaitu hati yang kosong dari kebajikan, yaitu hati orang-orang kafir dan munafik, adalah rumah syaitan, yang telah menjadikannya sebagai benteng bagi dirinya dan sebagai tempat tinggalnya. Maka adakah rangsangan untuk mencuri dari rumah itu sementara yang ada didalamnya hanyalah peninggalan syaitan, simpanannya dan gangguannya?.Rumah Raja iaitu hati yang telah dipenuhi dengan kekuasaan Allah SWT dan keagunganNya, penuh dengan kecintaanNya dan sentiasa dalam penjagaanNya dan selalu malu darinya, syaitan mana yang berani memasuki hati ini? Bila ada yang ingin mencuri sesuatu darinya, mampukah ia mencurinya?.Rumah Hamba iaitu hati yang di dalamnya ada tauhid Allah, mengerti tentang Allah, mencintaiNya, dan beriman kepadaNya, serta membenarkan janjiNya. Namun di dalamnya ada pula syahwat, sifat-sifat buruk, hawa nafsu dan tabiat tidak baik. Hati ini ada di antara dua hal. Kadang hatinya cenderung kepada keimanan, makrifat dan kecintaan kepada Allah semata, dan kadang condong kepada panggilan syaitan, hawa nafsu dan tabiat tercela. Hati semacam inilah yang dicari oleh syaitan dan diinginkannya. Dan Allah memberikan pertolonganNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya sebagaimana firmanNya: "Dan kemenanganmu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Ali Imran:126).Syaitan tidak mampu mengganggunya kecuali dengan senjata yang dimilikinya, yang dengannya ia masuk ke dalam hati.
Di dalam hati seperti ini syaitan mendapati senjata-senjatanya yg berupa syahwat, syubhat, khayalan2 dan angan2 dusta yang berada di dalam hati. Saat memasukinya, syaitan mendapati senjata-senjata tersebut dan mengambilnya serta menjadikannya menetap di hati. Apabila seorang hamba mempunyai benteng keimanan yang mampu mengimbangi serangan tersebut, serta memiliki kekuatan melebihi kekuatan penyerangnya, maka ia akan mampu mengalahkan syaitan..Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata-mata...


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/hati-ibarat-rumah.html

Andai Aku Jadi Raja Sehari

Saudaraku,… Kita hidup didunia sebenarnya adalah sebentar saja, nanti di akhirat kita tinggal di dunia merasa hanya tinggal sehari, pada waktu sore atau pagi saja. Allah ta'ala berfirman: "Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari. (QS. An-Nazia’at : 46 )
Jadi sesungguhnya kita tinggal di dunia adalah sebuah 'KESEMPATAN' yang tidak akan terulang. Persis sama dengan kisah berikut:
* Andai Aku Jadi Raja Sehari *
Dahulu ada sebuah Kerajaan yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Sang Raja selalu berkeliling negeri untuk melihat langsung kondisi rakyatnya.
Suatu hari Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan. Raja terkejut di negerinya ada rakyatnya yang kelaparan.
Sang Raja berfikir sebentar. Kemudian dia membuat sebuah kesempatan untuk Sang pemuda tadi. Dia memerintahkan prajuritnya. untuk secara diam-diam membawa sang pemuda itu ke istana ketika dia sedang tidur, malam itu juga.
Ketika Pemuda itu tidur, secara diam-diam beberapa Prajurit membawa pemuda tanpa sepengatahuan siapapun termasuk pemuda itu sendiri.
Raja ingin memberikan jabatannya sebagai Raja selama sehari untuk si pemuda tersebut.Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan si Pemuda.


Pagi harinya ketika terbangun dari tidurnya si pemuda tadi heran, dimanakah dia berada? Segera beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi Raja.
Para Pembantu istana sibuk melayaninya.Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena dia mendapati anaknya hilang dari rumahnya. Di carinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya. Siang harinya sambil menangis dan bercucuran air mata si ibu pergi ke istana Raja untuk meminta bantuan mencari anaknya ke pelosok negeri. Di gerbang istana si ibu tertahan oleh Para Penjaga istana dan tidak diijinkan untuk bertemu dengan Raja.
Namun demikian, seorang Penjaga itu masuk ke dalam dan memberi tahu kepada Sang Raja baru (Pemuda anak ibu tersebut) bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan kelaparan yang sedang mencari anaknya yang hilang. Sang Raja kemudian memerintahkan untuk mensedekahkan satu karung beras kepada ibu tua miskin tersebut.
Malam harinya Sang Raja baru itu tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah.Tengah malam, Sang Raja yang asli dengan Para Pembantunya secara diam-diam kembali memindahkan pemuda yang sedang tidur lelap itu kembali ke rumah ibunya.
Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada disini kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh Raja sekarung beras. Si Anak segera menyadari bahwa dialah kemarin yang memberi sekarung beras itu.
Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap Raja, dengan lugu dia minta diangkat kembali menjadi raja. Walau cuma sehari .Sang Raja segera menolak dengan mengatakan bahwa waktu/kesempatannya menjadi raja sudah habis.
Si Pemuda tetap memohon,sambil menghiba-hiba Pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja, tetapi Sang Raja tetap menolak
Sang Pemuda pulang dengan hati penuh penyesalan.Kenapa dia sangat kikir ketika jadi Raja sehari itu, seandainya dia dermawan maka tidak hanya sekarung beras yang dia kirim tetapi mungkin berton-ton beras beserta lauk pauknya untuk bertahun-tahun yang dia kirim. Juga akan memberikan apa saja untuk KEHIDUPAN SEBENARNYA... Dan itu semua seandainya dia tahu bahwa dia menjadi raja hanya sehari.
Saudaraku..



Sekarang yang menjadi raja adalah kita, kita yang akan menentukan KEHIDUPAN SEBENARNYA di akhirat nanti... Dan kita tahu, kita hidup di dunia ini seperti MENJADI RAJA SEHARI.... Kitalah yang menentukan diri kita sendiri di hari kemudian...
Tapi yang menentukan kehidupan nanti bukan benda materi yang harus dibangun dan dikumpulkan tetapi amal-amal kita...
Itulah analogi kehidupan kita sekarang. Kelak di akhirat yang abadi ada orang-orang menyesal .Mereka tidak pernah atau tidak serius beramal untuk akhirat mereka. Mereka tidak mengirim beras ( pahala ) yang banyak untuk kampung akhirat mereka.
Mereka menghiba-hiba kepada Allah swt agar di hidupkan kembali (dikembalikan ke dunia sekali lagi) :
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia agar kami bisa berbuat kebajikan yang amat banyak), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim." Allah berfirman: "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku. “ ( QS Al-Mukminun:107-108)
Ketika kita beramal, Sesungguhnya amal itu untuk diri kita sendiri !
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini. ( QS Muhammad:38).
 Apakah kita ingin menjadi orang yang menyesal ?? atau mulai banyak mengumpulkan amal untuk membangun Istana Sorga kita di akhirat kelak ???


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/andai-aku-jadi-raja-sehari.html

Persahabatan

Tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang senantiasa membutuhkan lingkungan dan pergaulan di dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Di dalam pergaulannya tersebut seseorang akan memiliki teman, baik itu di sekolahnya, tempat kerjanya ataupun di lingkungan tem-pat tinggalnya. Hingga tidak dipungkiri lagi bahwa teman merupakan elemen penting yang berpengaruh bagi kehidupan seseorang.
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah me-ngatur bagaimana adab dan batasan-batasan di dalam pergaulan, sebab betapa besar dampak yang akan menimpa seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jahat, dan sebaliknya betapa besar manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang bergaul de-ngan teman yang shalih.
Banyak diantara manusia yang terjerumus ke dalam lubang ke-maksiatan dan kesesatan dikarenakan bergaul dengan teman-teman yang jahat, dan banyak pula diantara manusia yang mendapatkan hidayah disebabkan bergaul dengan teman-taman yang shalih.
Di dalam sebuah hadits Rasulullah menyebutkan tentang pera-nan dan dampak sesorang taman. Rasulullahbersabda :
“Perumpaman teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jahat adalah seperti penjual minyak wangi dengan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi tidak melewatkan kamu, baik engkau akan membelinya atau engkau tidak membelinya, engkau pasti akan mendapatkan wanginya yang semerbak, sementara pandai besi ia akan membakar bajumu atau engkau akan mendapatkan bau-nya yang tidak enak” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Berdasarkan hadits tersebut dapat di-ambil faedah penting, bahwasanya ber-gaul dengan teman yang shalih mempu-nyai 2 kemungkinan yang kedua-duanya baik, yaitu :Kita akan menjadi baik atau kita akan memperoleh kebaikan yang dilakukan teman kita. Sedang bergaul dengan teman yang jahat juga mempunyai 2 kemungkinan yang kedua-duanya jelek yaitu :Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilaku-kan teman.



Rasulullah telah menjadikan se-orang teman sebagai patokan terhadap baik dan buruknya agama seseorang, oleh sebab itu Rasulullah memerintah-kan kepada kita agar memilah dan me-milih kepada siapa kita bergaul.Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda :
“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaknya seseorang diantara kamu melihat kepada siapa dia bergaul”.(HR. Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi)dan dalam sebuah syair disebutkan :“Jangan tanya tentang seseorang, tapi tanya tentang temannya, sebab orang pasti akan mengikuti kelakuan teman-nya”.
Demikianlah karena memang fitrah ma-nusia cenderung ingin selalu meniru tingkah laku dan keadaan temannya .Para salafusshalih sering menyampaikan kaidah bahwa:
“Hati itu lemah, sedang syubhat kencang menyambar”Sehingga pengaruh kejelekan akan lebih mudah mempengaruhi kita dikarenakan lemahnya hati kita.
Merupakan sikap yang diajarkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah men-jauhi para penyeru bid’ah, para pengikut hawa nafsu (ahlul ahwa’) dan orang-orang fasik yang terang-tarangan menampakkan dan menyerukan kefasik-annya. Ini merupakan salah satu tin-dakan preventif terhadap bahaya lingkungan pergaulan dan agar umat terhindar dari pengaruh kemaksiatan tersebut.
Seorang teman memberikan penga-ruh yang besar dalam kehidupan kita, janganlah ia menyebabkan kita menyesal pada hari kiamat nanti dikarenakan bujuk rayu dan pengaruhnya sehingga kita tergelincir dari jalan yang hak dan terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Renungkanlah baik-baik firman Allah berikut ini :“Dan ingatlah hari ketika orang-orang dzalim menggigit kedua tangannya seraya berkata :”Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besar bagiku! Kiranya dulu aku tidak mengambil si fulan sebagai teman akrabku. Sesung-guhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan adalah syaithan itu tidak mau menolong manusia” (QS. Al Furqan:27-29)
Lihatlah bagaimana Allah menggam-barkan seseorang yang telah menjadikan orang-orang fasik dan pelaku maksiat sebagai teman-temannya ketika di dunia sehingga di akhirat menyebabkan penye-salan yang sudah tidak berguna lagi baginya, karena di akhirat adalah hari hisab bukan hari amal, sedang di dunia adalah hari amal bukan hari hisab.
Setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertang-gung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya dan orang tua adalah pe-mimpin terhadap istri dan anak-anaknya oleh karenanya hendaknya para orang tua, untuk memperhatikan lingkungan dan pergaulan istri dan anak-anaknya. Ingatlah bagaimana wasiat agung Lukman Al Hakim di dalam surat Luqman ayat 13-19 ketika mewasiatkan kepada anaknya diantaranya agar mengikuti dan menempuh jalan orang-orang yang kem-bali kepada Allah.


Merekalah para nabi, syuhada dan shalihin, merekalah uswah dan tauladan dalam segenap aspek kehidupan kita.
Jika kita berada pada suatu lingku-ngan yang jelek dan dikhawatirkan kita atau keluarga kita akan ikut terbawa oleh kejelekan tersebut maka hendaknya kita hijrah (pindah) dari tempat tersebut ke tempat lainnya, ke tempat yang lebih kondusif, di lingkungan orang-orang yang shalih, yang akan lebih mendekatkan kita dan keluarga kita kepada keridhaan Allah. Allah berfirman :“Sesungguhnya orang-orang yang di-wafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (Kepada mereka) malaikat bertanya :”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negri” Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa’:97)
Di ayat ini Allah mengancam orang-orang yang tidak melakukan hijrah dari tempat yang jelek ke tempat yang baik dan aman, padahal mereka mempunyai kemampuan untuk melakukannya, de-ngan ancaman Neraka Jahannam –Wal I’yadzu billah-
Oleh karenanya hendaknya setiap kita menjadikan orang-orang shalih yang bermanhaj dan beraqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai teman akrab kita, merekalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik persahabatan, adapun selain itu adalah persahabatan yang semu. Maha benar Allah yang menyebutkan dalam kitab-Nya:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS. Az Zukhruf:67)
Umar bin Khattab berkata :“Hendaklah engkau mencari teman-teman yang jujur, niscaya engkau akan hidup aman dalam lindungannya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan hiburan pada saat berduka. Letakkan urusan saudaramu pada tempat yang paling baik, hingga dia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Janganlah engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya, dan mintalah pendapat da-lam masalahmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah”
Seorang bijak menasehatkan tentang hakekat seorang teman:“Saudaraku, teman sejatimu adalah yang selalu mendorongmu untuk berbuat ke-bajikan dan mencegahmu dari berbuat kejelekan walaupun engkau jauh dan engkau tidak bergaul dengannya, dan musuh sejatimu adalah yang mendorong-mu berbuat kejelekan dan tidak mence-gahmu dari berbuat dosa walaupun ia dekat denganmu dan engkau selalu bergaul dengannya”

Semoga Allah selalu memberikan taufik kepada kita dan menyelamatkan kita dari kejelekan lingkungan dan per-gaulan serta menganugrahkan kepada kita lingkungan dan pergaulan yang mendorong kita untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Shalawat dan salam semoga senan-tiasa tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah , keluarga dan shahabat-shahabat beliau.


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/persahabatan.html

Di mana Air Matamu?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan,


“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).
Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.
al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?


”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”
Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.
Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”
Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/di-mana-air-matamu.html

Aku Ingin Memanggilmu Ukhty

Aku tahu sebenarnya sudah ada benih hidayah di hatimu. Hanya saja selama ini kamu selalu inginkan yang lain. Hati kecilmu ingin berubah, tetapi nafsumu belum mau diajak berubah. Aku tahu mungkin kamu butuh waktu. Tapi kalaulah ini sebuah kebaikan, kenapa mesti ditunda hingga ajal menjemputmu?
Allah hanya inginkan kebaikan pada hamba-Nya, termasuk kamu. Alah inginkan kamu baik, kamu berada dalam sebuah kemaslahatan. Sepanjang kamu mendekat, Allah akan mendekat. Sepanjang kamu menjauh, Allah juga akan menjauh. Penuhilah ajakan Allah dan Rasul-Nya, meski ajakan manusia membuatmu terbuai. Betapa sering kita terpikat ajakan manusia, padahal manusia itu sendiri tak bisa menjanjikan apa-apa.


Tapi kenapa justru kita selalu mengabaikan ajakan Allah, padahal Dia lah yang akan menjamin surga atau nerakanya kita.
Aku tahu kamu pandai, itulah kenapa kamu selalu menggunakan otakmu. Kamu ingin segalanya bisa dinalar. Bisa ditelaah secara ilmiah, bisa dihitung secara angka, dan bisa dilihat dengan logika. Hidayah ini pun inginnya juga kamu gitukan. Hidayah kudu nyata, kudu benar-benar terlogika secara cerdas. Tapi tidak tahukah kamu, bahwa secerdas apapun kamu, kamu masih lebih bodoh dari Penciptamu. Sekuat apapun akalmu, itu tidak akan membantumu melewati hari-hari di pembalasan nanti. Karena akalmu tak lebih baik dari wahyu Allah. Wahyu Allah lah yang lebih tinggi posisinya. Sebebas apapun kamu berpikir, itu tidak akan memuaskanmu. Malahan justru akan membuatmu mendekati kegilaan yang mengancam dirimu.
Hidayah Allah sudah merangkulmu, tapi otak dan pikiranmu ingin berontak dari itu. Kembalilah kepada Allah dengan segenap jiwa dan ragamu. Rasakanlah kebahagiaan hidup yang telah Allah janjikan kepada pada hamba-Nya. Hamba-hambaNya laki-laki maupun perempuan, yang gemar berbuat keshalihan. Mereka penuhi hari-harinya dengan kebaikan dan amal-amal pengantar surga. Jadilah bagian dari mereka. Bergabunglah dengan kafilah-kafilah mereka. Bukankah Allah Ta'ala yang Maha Rahman berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs ِAn Nahl: 97)
Aku ingin kamu berubah. Tidak lagi tomboy dengan kalung dan gelang yang tidak jelas fungsinya. Tidak lagi berjalan seperti tentara. Tapi lembut seperti putri-putri istana. Tidak lagi bersuara laksana komandan perang di hadapan serdadunya. Melainkan dengan nada yang sopan meski tidak terkesan menggoda. Aku ingin kamu menjadi seorang muslimah yang sebenarnya. Mengganti gelapnya hatimu dengan terang sinar-Nya. Membuang jalan kesesatan menjadi jalan yang penuh dengan keridhaan Rabbnya.
Aku tahu tubuhmu lelah melangkah di jalan yang selama ini kau tempuh. Penuh dosa dan penuh kesalahan yang menghantui setiap perasaan dan mengepung rasa aman. Fikrah-fikrah liberalisme, feminisme yang radikal hanya membuatmu semakin jauh dari kasih sayangnya. Menjadi anak yang durhaka terhadap ketentuan-ketentuanNya. Semua itu melelahkan! Padahal tak ada janji sorga kecuali hanya surga dunia yang hanya sesaat saja. Gelimang materi yang akan kau dapatkan manakala kau menjual agamamu pada mereka.
Kembalilah kepada Allah. Jadilah muslimah yang meneduhkan hati. Karena hari ini, aku ingin memanggilmu Ukhty... 


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/aku-ingin-memanggilmu-ukhty.html

*** Seindah Cinta Wanita Perindu Syurga ***

Malam baru mulai memasuki sepertiga bagiannya yang terakhir, seorang lelaki termenung di dalam khalwatnya kepada Allah Ta’ala, sebagian hati dan pikirannya berkecamuk, ucapan tahmid tak henti-hentinya terlafadzkan oleh lisannya, tak terasa ada butiran air yang hangat menetes dari matanya, sungguh ini air mata bahagia.


Dipalingkannya wajahnya kesamping dan menatap wajah istrinya yang sedang terlelap tidur, sungguh wajah yang damai dan paras terindah yang pernah ia temui di dalam hidupnya, diperhatikannya dengan seksama dan pandangan kagum terhadap istrinya, ada suatu hal yang seakan menyesakkan dadanya, suatu ungkapan haru yang teramat dalam, dan berusaha ia untuk semampu mungkin menahan linangan air mata bahagia itu, namun lelaki itu tak mampu dan ia memutuskan untuk mengambil air wudhu demi menghadap ke hadapan Rabb-nya.
Di penghujung malam dalam dzikirnya terngiang kembali ucapan tulus dari istrinya yang tak pernah ia duga sebelumnya, “Abi,.... kalau abi ingin menikah lagi ana ridho demi mendapatkan ridho Allah Ta’ala!. Subhanallah, tidak pernah terlintas sama sekali dalam hati lelaki itu untuk ingin menikah lagi, juga tak pernah ia meminta istrinya untuk mau dimadu, selama ini pernikahannya yang telah berjalan delapan tahun dipenuhi keindahan dan barokah dari Allah Ta’ala.
Bagaimana tidak, ia telah menikahi wanita yang sholihah, cantik, terpelihara nasabnya dan telah memberikannya keturunan yang sholihah serta menghiasi pandangan matanya setiap hari di rumahnya. Tak pernah ia merasakan ada yang kurang dalam rumah tangganya walaupun mereka tidak memiliki harta yang melimpah, namun keluarganya adalah salah satu harta terbesar yang ia miliki, cintanya selalu bersemi setiap ia memandang istrinya, karena itulah dia tak ingin membagi keindahan itu, karena ia tidak yakin akan mampu berbuat adil. Di dalam hatinya tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang akan mampu menandingi cintanya kepada istrinya...
Hingga datangnya saat itu... kemarin hatinya begitu tersentuh dan terharu demi mendengar ucapan tulus istrinya, “Selama ini engkau telah memberikan kasing sayang yang banyak kepada kami, setiap apa yang aku inginkan, maka engkau berusaha untuk memenuhinya dengan segala kemampuan yang engkau miliki. Betapa aku telah merasakan keindahan yang besar dengan menjadi istrimu, lalu kenapa aku harus berbuat egois untuk menguasai semuanya itu?”
“Allah Ta’ala Maha Pengasih, maka aku ridho karena Allah Ta’ala jika engkau ingin menikah lagi sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam firman-Nya.”
Selama ini pernikahannya memang merupakan keindahan yang berkelanjutan, sehingga ia merasa bahwa rumahnya adalah surganya, ia hanya terdiam demi mendengar perkataan istrinya, lidahnya tercekat dan hatinya bergejolak, ia sangat terharu mengetahui sebuah keikhlasan yang jujur dan tulus tanpa ada paksaan siapapun, didasari kecintaan kepada Allah Ta’ala, keinginan untuk mendapatkan yang terbaik dalam rumah tangganya, dan juga didasari kesadaran yang penuh akan kodratnya sebagai wanita yang sholihah.
Terlintas kembali ucapan istrinya, “Walaupun kelak aku hanya menjadi satu-satunya istri dalam hidupmu, namun jika aku tidak menerima hukum Allah Ta’ala bahwa engkau memiliki hak untuk menikahi wanita selain aku, maka aku telah mengingkari Al-Qur’an dan durhaka kepada Allah Ta’ala, wahai suamiku, seorang laki-laki diciptakan memiliki kelebihan dibanding wanita,


maka aku merelakan apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk kami kaum wanita, semoga Allah Ta’ala ridho kepadaku.”
“Maka keputusannya ada di tanganmu, bukannya aku tidak mencintaimu, sungguh engkau adalah lelaki terbaik yang pernah aku temui, engkau selalu memenuhi kebutuhanku semampumu, jika engkau marah, hal itu semata karena kesalahanku, tidaklah engkau pernah berbuat dholim kepada kami sitri dan anakmu, jika engkau telah berbuat adil kepada kami, maka kenapa aku harus menahan apa yang menjadi hak yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadamu? Jika aku menahannya maka aku telah menolak keputusan Allah dan tidak adil kepadamu!”
“Wahai suamiku, wanita mana yang tidak memiliki kecemburuan dalam hatinya, wanita mana yang tidak cemburu kepada lelaki sebaik engkau, namun aku ridho kepada apa yang Allah Ta’ala ridho kepadanya, aku akan mengatur kecemburuanku agar berbuah menjadi kebaikan di hadapan Allah Ta’ala dan kemudian menjadi kebaikan di matamu, wahai suamiku, aku tidak memaksamu untuk menikah lagi, namun ketahuilah bahwa aku telah ridho jika engkau ingin menikah lagi.”
Lelaki itu kembali tercenung... tetesan air mata telah mulai mengering, hatinya berbunga-bunga demi mengetahui istrinya telah memahami semua nasihat yang ia berikan selama ini, buah dari ketekunan dalam menuntut ilmu dan meluangkan waktu untuk mendatangi ta’lim di mana diajarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sama sekali tak pernah ia menyinggung hal itu sebelumnya, namun ucapan istrinya telah menyadarkan hatinya, bahwa ia harus semakin rajin untuk belajar ilmu agama sebaik-baiknya, melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia ingin selalu didampingi oleh istrinya hingga ke akhirnya, hingga ke jannah kelak insya Allah.
Terucap pula oleh lisan istrinya ,”Wahai suamiku, sungguh aku sangat merindukan jannah Allah Ta’ala, dan aku ingin meraihnya bersamamu, aku pun ingin selalu bisa mendampingimu selama yang aku mampu, hingga ke jannah kelak insya Allah, aku selalu ingin berada dalam lembutnya labuhan kasih sayangmu. Wahai suamiku, engkau adalah pemimpinku, maka bimbinglah diri ini untuk selalu berada di atas jalan yang benar yang diridhoi Allah Ta’ala dan sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terpelesetnya dirimu adalah bencana bagiku, maka aku selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala agar memberikan kita jalan yang lurus!”
Lisan lelaki itu tercekat, ia berusaha untuk menahan keharuan air matanya dan agar selalu tampak tegar di hadapan istri tercintanya itu, sungguh Allah Ta’ala telah memberikan karunia yang demikian besar dengan menjadikan ia suami dari seorang wanita yang bertaqwa, kembali ia memandang wajah anak-anaknya, hatinya berguman, “Wahai anakku! Sungguh kalian beruntung tumbuh dalam asuhan seorang ibu yang sholihah!”
Malam itu menjelang waktu subuh! Lelaki itu bangkit untuk menunaikan kewajiban sholat subuh, di dalam hatinya ada tekad untuk menjadi suami dan kepala rumah tangga yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya,


semoga Allah Ta’ala memberikan kemampuan kepadanya, sungguh mengarungi kehidupan dunia yang penuh cobaan ini tidaklah mudah, sebelum berangkat menuju masjid dibelainya kepala istrinya, dalam hati ia berkata,”Wahai istriku, engkau telah memiliki memahami agama ini semakin baik, aku tidak akan mau kalah darimu, aku akan semakin rajin untuk menuntut ilmu agama lebih baik lagi. Engkau telah ridho memberikan aku kesempatan untuk menikah lagi, namun ketahuilah, bahwa aku merasa belum mampu untuk menduakan cintamu, entah kelak! Namun kini satu hal yang aku tahu pasti, bahwa aku telah begitu beruntung memilikimu sebagai istriku. Maafkan aku istriku, aku belum mampu mewujudkan keinginanmu!”
Adzan subuh telah memanggil, saatnya bagi kaum muslimin yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Hari Akhir untuk menunaikan sholat subuh dengan berjamaah, wahai para suami, sibakkanlah selimut tebalmu dan bangunlah dari buaian mimpi menuju perintah Rabb-mu, wahai para istri, sertai dan jagalah suami kalian agar senantiasa selalu berada dalam keta’atan kepada Allah Ta’ala. Aku berdo’a agar Allah Ta’ala mempertemukan aku, istriku, anak-anakku beserta keluargaku bersama kalian para kaum muslimin kelak di jannah-Nya, Amiin.


http://romdani45498.blogspot.com/2010/11/seindah-cinta-wanita-perindu-syurga.html