Mengenai Saya

Foto saya
Pangandaran, West Java, Indonesia
Simple

Sabtu, 03 Maret 2012

*** Muthi"ah ***

"Fatimah anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan istri yang dicintai suami?” tanya sang ayah yang tak lain adalah Baginda Nabi Muhammad saw.
Tentu, Ayahku,” jawab Fatimah.
“Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya dan ia merupakan wanita penduduk surga. Namanya Muthi’ah. Temuilah ia, teladani budi pekertinya yang baik itu,” kata Baginda lagi.
Gerangan amal apakah yang dilakukan Muthi’ah sehingga Rasul pun memujinya sebagai perempuan teladan?
Bergegaslah Fatimah menuju rumah Muthi’ah. Begitu gembira Muthi’ah mengetahui tamunya adalah putri Nabi saw. “Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu, Fatimah. Namun, aku perlu meminta izin suamiku terlebih dulu. Karena itu, pulanglah dan datanglah kembali esok hari.”
Keesokan harinya Fatimah datang lagi bersama Hasan, putranya yang masih kecil. Saat Muthi’ah melihat Fatimah datang lagi dengan membawa Hasan, berkatalah ia, “Maafkanlah aku, sahabatku, suamiku telah berpesan kepadaku untuk tidak menerima tamu lelaki di rumah ini.”
“Ini Hasan, putraku. Ia 'kan masih kanak-kanak,” kata Fatimah.
“Sekali lagi, maafkan aku. Aku tidak ingin mengecewakan suamiku, Fatimah.”
Fatimah mulai merasakan keutamaan Muthi’ah. Ia semakin kagum dan berhasrat menyelami lebih dalam akhlak wanita ini. Diantarlah Hasan pulang dan bergegaslah Fatimah kembali ke rumah Muthi’ah.
“Aku jadi berdebar-debar,” sambut Muthi’ah, “Gerangan apakah yang membuatmu begitu ingin ke rumahku, wahai putri Nabi?”
“Memang benar, Muthi’ah. Ada berita gembira untukmu dan ayahku sendirilah yang menyuruhku kesini. Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah wanita berbudi sangat baik. Karena itulah aku kesini untuk meneladanimu, Muthi’ah.”
Muthi’ah gembira mendengar ucapan Fatimah, namun ia masih ragu. “Engkau bercanda, sahabatku? Aku ini wanita biasa yang tak punya keistimewaan apapun seperti yang engkau lihat sendiri.”
“Aku tidak berbohong, Muthi’ah. Karenanya, ceritakan kepadaku agar aku bisa meneladaninya.”
Muthi’ah terdiam, hening. Lalu tanpa sengaja Fatimah melihat sehelai kain kecil, kipas dan sebatang rotan di ruangan kecil itu. “Untuk apa ketiga benda ini, Muthi’ah?”
Muthi’ah tersenyum malu. Namun, setelah didesak, ia pun bercerita. “Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras, memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, lalu kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Ia pun berbaring di tempat tidur melepas lelah. Lantas aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas.”
“Sungguh luar biasa pekertimu, Muthi’ah. Lalu untuk apa rotan ini?”
“Kemudian aku berdandan secantik mungkin untuknya. Setelah ia bangun dan mandi, kusiapkan makan dan minum. Setelah semua selesai, aku berkata kepadanya, ‘Suamiku, bilamana pelayananku sebagai istri dan masakanku tidak berkenan di hatimu, aku ikhlas menerima hukuman. Pukullah aku dengan rotan ini dan sebutlah kesalahanku agar tak kuulangi.’”
“Seringkah engkau dipukul oleh dia, Muthi’ah?” tanya Fatimah berdebar-debar.
“Tak pernah, Fatimah. Bukan rotan yang diambilnya, justru akulah yang ditarik dan didekapnya penuh kemesraan. Itulah kebahagiaan kami sehari-hari,” tegas Muthi’ah lagi.
“Muthi’ah, benar kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik,” kata Fatimah terkagum-kagum.
**********************************************************
 Sesungguhnya ada beberapa riwayat mu’tabar dan hadis sahih yang meneguhkan betapa seorang istri selayaknya memperlakukan suaminya ‘bak raja’, persis seperti yang dilakukan Muthi’ah kepada suaminya dalam kisah di atas. Di antaranya adalah riwayat penuturan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
 Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada manusia lain, aku pasti akan memerintahkan wanita agar bersujud kepada suaminya.” (HR at-Tirmidzi).
Ada pula penuturan Asma’ binti Yazid, bahwa ia pernah datang kepada Nabi saw., dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan para wanita kepadamu… Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusmu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya hingga kami mengimanimu dan Tuhanmu. Namun, sungguh kami (kaum wanita) terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding rumah kalian (para suami), memenuhi syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, berkunjung kepada orang sakit, menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji, dan—yang lebih mulia lagi dari semua itu—jihad di jalan Allah… Lalu adakah kemungkinan bagi kami untuk bisa menyamai kalian dalam kebaikan, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. lalu menoleh kepada wanita itu seraya bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahulah mereka, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu!
Mendengar sabda Rasul itu, wanita itu pun pergi seraya bersuka-cita (HR al-Baihaqi).
Melalui sabdanya ini, Rasul tentu tidak sedang berbasa-basi atau sekadar menghibur wanita itu. Jihad adalah puncak kebajikan. Setiap Sahabat Nabi saw. amat merindukannya. Setiap ada panggilan jihad, tak ada seorang Sahabat pun yang tak bersuka-cita menyambutnya. Jika kemudian perlakuan yang baik seorang istri kepada suaminya mengalahkan keutamaan jihad, tentu lebih layak lagi para istri manapun bersuka-cita menjalankan kewajiban ini.
Sudahkah setiap istri, khususnya istri pengemban dakwah, senantiasa bersuka-cita dalam melayani suaminya? Jika belum, bersegeralah! Hampirilah suami Anda, peluklah ia dan raihlah ridhanya. Mulai sekarang, jadilah Anda muthi’ah sejati, yang akan menjadi penghuni surga-Nya nanti. 
 
 

Yang Tak Tampak Menjadi Banyak

Suatu hari Rasullullah dan sahabat -sahabatnya turun di suatu tempat dipadang pasir yang tandus,tidak ada tanam-tanaman.
tapi hari itu mereka perlu rantig-ranting kecil untuk menyalakan api .  
"Kumpulkan ranting-ranting kecil,   "   Perintah Nabi kepada Sahabat-sahabatnya .
" Baik ya Rasulllah , Jawab mereka, Tapi lihatlah. Betapa kosongnay padang pasir ini ,tidak terlihat kayu-kayu kecil sedikitpun disini"     " Bagaimanapun ,setiap orang harus mengumpulkan sebanyak yang dia bisa ."
 Semua sahabat pergi kepadang pasir ,dengan teliti ,mereka mencari  kayu-kayu kecil dan mengumpulkannya ,hingga akhirnya ,hingga akhirnya setiap orang berhasil membawa ikatan kecil ranting-ranting kayu,dan dikumpulkan di suatu tempat .sebentar kemudian ,jadilah setumpukan kayu yang telah menimbun.Kemudian Nabi SAW bersabda ,  "Dosa-dosa kecil sama seperti kayu-kayu kecil ini,pada mulanya dia tidak tampak dimata , namun setiap sesuatu pasti ada yang mencari dan mengejarnya.apa yang kalian cari atdi ,kini telah tertimbun banyak dihadapan mata .Dosa-dosa kalian ,kelak juga akan dikumpulkan dan dihisab.suatu hari nanti ,kalian akan melihat dosa-dosa kecil yang mulanya tidak tampak di matatiba-tiba telah tinggi menggunung ." 

Larangan Saling Bermusuhan Dan Saling Dengki

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain,” (Al-Hujaraat: 12).
Diriwayatkan dari az-Zubeir bin Awwam r.a, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Kalian telah terjangkiti penyakit ummat sebelum kalian, yaitu dengki dan angkara murka yang dapat mencukur (memusnahkan). Aku tidak katakan mencukur rambut, tetap dapat mencukur (memusnahkan) agama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk ke dalam surga hingga kalain beriman dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku beritahu cara menumbuhkan hal itu? Yaitu sebarkan salam diantara kalian,” (Hasan, HR at-Tirmidzi [2510], Ahmad [I/167] dan Bukhari dalam Adabul Mufrad [260]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Janganlah kalian berprasangka sebab prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mengintai kesalahan, saling bersaing, saling iri, saling benci, dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara,” (HR Bukhari [6064] dan Muslim [2563]).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling dengki, dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba Allah yang besaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari,” (HR Bukhari [6065] dan Muslim [2559]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis.
Maka pada hari itu setiap hamba diberi ampunan selama ia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali seorang hamba yang bermusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, ‘Akhirkan dulu mereka hingga mereka akur, akhirkan dulu mereka hingga mereka akur, akhirkan dulu mereka hingga mereka akur, akhirkan dulu mereka hingga mereka akur’,” (HR Muslim [2565]).
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari, mereka bertemu dan saling berpaling. Yang terbaik dari mereka berdua adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam,” (HR Bukhari [6077] dan Muslim [2560]).
Diriwayatkan dari Hisyam bin Amir al-Anshari r.a, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya muslim lebih dari tiga hari. Mereka berdua jauh dari kebenaran selama mereka memutuskan hubungan. Kemarahan siapa yang reda terlebih dahulu maka hal itu sebagai kafarat untuknya dan apabila mereka berdua meninggal disaat memutuskan hubungan tersebut maka mereka tidak akan masuk surga selamanya. Jika salah seorang mereka mengucapkan salamnya dan tidak dijawan oleh yang lain maka malaikatlah yang menjawab salamnya tersebut. Sementara yang lain akan mendapat jawaban dari syaitan,” (shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [402]).
Banyak hadits-hadits yang termasuk dalam catatan ini.
...
 Intisari :
Pertama, kaum muslimin dilarang untuk saling membenci karena hawa nafsu bukan karena Allah. Sebab Allah telah menjadikan mereka teman dan saudara yang saling menyayangi bukan saling membenci. Allah telah mengharamkan atas orang-orang mukmin perkara yang dapat menimbulkan saling bermusuhan dan membenci diantara mereka, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilahkamu dari mengerjakan pekerjaan itu,” (Al-Maidah: 91).
Kedua, kaum muslimin dilarang berbuat dengki dan jahat. Oleh karena itu janganlah kalian saling iri dengki. Sifat iri merupakan sifat yang sudah ada dalam tabiat manusia. Yakni seorang manusia benci jika beberapa keutamaannya dikalahkan oleh seorang yang satu level dengannya. Setelah itu manusia terbagi pada tiga golongan: 1. Diantara mereka ada yang berusaha untuk menghilangkan nikmat orang yang didengki dengan berbuat jahat kepadanya, baik melalui perkataan maupuan perbuatan.
2. Ada yang berusaha memindahkan nikmat tersebut kepada dirinya. 3. Dan ada juga yang berusaha untuk menghilangkan nikmat orang tersebu tanpa memindahkan nikmat tersebut kepada dirinya dan ini merupakan sifat dengki yang lebih buruk daripada dua sifat yang lalu. Sifat dengki seperti ini merupakan sifat tercela yang dilarang dan ini merupakan dosa yang telah dilakukan iblis yang dilaknat Allah.
Allah telah menceritakan karakter Ahli Kitab dengan sifat ini, Allah berfirman, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran,” (Al-Baqarah: 109). 1. Dilarang saling bermusuhan, memutuskan hubungan dan memboikot lebih dari tiga hari karena urusan dunia. Sebab hal ini merupakan penghalang naiknya amalan dan masuknya seseorang ke surga. 2. Kebalikan dari yang lalu, perintah untuk saling bersaudara karena Allah dan bersatu dalam manhaj Allah. Oleh karena itu ALlah memberikan nikmat ini kepada hamba-hamba-Nya dengan cara mempersaudarakan mereka, sebab itu merupakan tali keimanan yang terkuat, terbaik, dan yang paling kokoh.
“Dan ingatlah akan nikmat ALlah kepadamu ketika kamu dahulu masa jahiliyyah bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara,” (Ali Imran: 103]).
- Ya Allah Kami Berlindung kepadaMu Dari Segala Penyakit – Penyakit Hati, yang Hanya Akan Menambah dosa – Dosa Kami.
- Semoga Bermanfaat.
 
 

Bidadari Yang Cantik Jelita

Mereka sangat cangat cantik, memiliki suara-suara yang indah dan berakhlaq yang mulia. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan siapapun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadari-bidadari itu. Siapapun ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka dan ingin hidup bersama mereka.
Semuanya itu adalah anugrah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat-sifat terindah kepada mereka, yaitu bidadari-bidadari surga. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’ib yang artinya gadis-gadis remaja. Yang memiliki bentuk tubuh yang merupakan bentuk wanita  yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari, karena kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah RadhiAllohu anha pernah berkata: “warna putih adalah separoh keindahan”
Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna puith. Seorang penyair berkata:
Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukanlaksana kijang Makkah yang tidak boleh dijadikan buruandia menjadi perhatian karena perkataannya lembutIslam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahatAl-’In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna puith sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang  baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantk menawan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:  “Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (QS: Al-Baqarah: 25)
Makna dari Firman diatas adalah mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik dengan urusan-urusan wanita yang menggangu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari  rumah suaminya, tidak melayani kecuali suaminya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi.
Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Diantara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaanyya, dan dia juga tidak mau memamndang kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair: Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar jika kau ingin cinta kita selalu mekar.
 Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannnya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Aisyah RadhiAllohu anha, pernah bertanya kepad Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: “Wahai Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggambala, maka dimanakah engkau menempatkan onta gembalamu?”  Beliau menjawab,”Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim) Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.
 Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, yang artinya: “Mengapa tidak engkau nikahi wanita gadis agar engkau bisa mencandainya dan ia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)
Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.
Al-Bukhary berkata di dalam Shahihnya, “Al-’Urub, jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang oleh tangan manusia, berwarna puith kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merehnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.
Semoga para wanita-wanita di dunia ini mampu memperoleh kedudukan untuk menjadi Bidadari-Bidadari yang lebih mulia dari Bidadari-Bidadari yang tidak pernah hidup di dunia ini. Wallahu A’lam
 
 

Ridho Suami

Dari Ummu Salamah, ia berkata, "Rasulullah S.A.W bersabda : Seorang perempuan jika meninggal dan suaminya meridhoinya, maka ia akan masuk surga." (HR. Ahmad dan Thabrani)
Muslimah yang bersuami, mendapat jaminan pintu surga. Alangkah enaknya jadi muslimah. Dalam pernikahan, ia tidak perlu mencari nafkah. Dengan status sebagai istri, ia akan mendapat makan, pakaian, dan tempat tinggal, plus perlindungan dari suami. Suami pula yang memenuhi kebutuhan mawadahnya. Islam sudah mengatur itu, namun ini harus ditempuh dengan usaha. Memang di dunia ini tidak ada hak tanpa kewajiban, tidak ada hadiah tanpa kerja. Suami yang memberikan semua jaminan tadi, harus disenangkan hatinya, dipatuhi keinginannya, dipenuhi kebutuhan mawadahnya.
 Pendek kata apa saja yang ia inginkan (selama bukan dosa), harus dipenuhi. Maka jika ia telah ridho terbukalah pintu surga bagi istrinya.
Suami kita adalah manusia dan manusia tidak ada yang sama persis satu sama lain. Manusia juga tidak ada yang sempurna, ada saja kekurangannya. Sebagaimana kita juga tidak sempurna, maka perlu kita terima kekurangan suami. Sebagaimana kita (wanita) juga memiliki kegemaran yang berbeda-beda, maka terima pula kegemaran-kegemaran suami kita. Bahkan dalam Islam, kegemaran suami adalah kewajiban istri untuk memenuhinya. Misalnya suami kita menggemari wangi-wangian, maka wajib bagi istrinya untuk selalu memakai wangi-wangian di hadapan suaminya.
Di zaman yang penuh berkah, di awal-awal abad hijriyah, telah hidup generasi yang diberkahi Allah S.W.T. Di zaman itu hidup putri Rasulullah yang mulia: Fatimah ra. Sosok wanita ahli surga yang menghabiskan waktunya di rumah, untuk memasak, mencuci pakaian, mengurus anak yang banyak...., tanpa pembantu. Ayahnya yang mulia (S.A.W ) tidak mengabulkan permintaan Fatimah agar dapat diberikan pembantu. Tetapi beliau malah memberikan resep dzikrullah yang dapat menghilangkan kelelahan.
Suami Fatimah adalah sahabat yang mulia pula, Ali ra. termasuk pria ahli surga. Sosok penuh kesederhanaan yang tidak pernah memadu Fatimah dengan wanita lain selama hidupnya. Sosok pemuda yang melamar putri pemimpin umat dengan menggadaikan baju besi.
Ada sosok lain di sisi Rasulullah yaitu Aisyah ra. istri beliau yang termuda usianya. Sosok wanita manja dan berpipi merah. Sosok istri pencemburu yang penuh siasat untuk memenangkan cinta kasih sang suami diantara delapan istrinya yang lain. Sosok wanita tidak berputra, tidak disibukkan dengan tangis dan ompol bayi. Tapi beliau adalah wanita cerdas, penghafal hadits yang ulung dan selalu belajar apa saja, sampai ilmu kedokteran. Dialah pintu ilmu para sahabat di jamannya. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat tidak suka memberikan fatwa tanpa bertanya lebih dulu kepadanya. Sosok wanita dengan muyul ilmiah syar'iyah dan berfungsi sebagai dosen hadits para sahabat dan thabi'in. Sosok ini pernah hidup dan mendapat pengakuan Islam.
Ada pula kakak Aisyah bernama Asma binti Abu Bakar, ibunda dan istri syahid. Sosok yang amat berbeda dengan adiknya yang manja. Asma adalah wanita yang tegar. Punya anak banyak dan bersuamikan mujahid yang aktif. Tapi juga bukan orang kaya. Asma wanita pemberani yang telah diberi kepercayaan oleh bapaknya untuk turut mensukseskan hijrah Rasulullah S.A.W. dengan tugas khusus sebagai pembawa ransum kepada dua orang muhajirin agung yang sedang sembunyi di gurun. Asma dikenal banyak akal, ketika ia tidak memiliki tali untuk mengikat makanan yang dibawanya, ia membelah ikat pinggangnya, sehingga ia dijuluki si "Dua ikat pinggang".
Apakah dia sama dengan sosok Fatimah ? Tidak, ia lain sekali dengan Fatimah. Asma bahkan biasa mengurus sendiri kuda-kuda Zubair (suaminya), memandikan dan memberi makan.
Ini biasanya pekerjaan laki-laki. Tapi Asma melakukannya karena mencari ridho suami. Asma juga biasa memanggul sendiri kayu bakar yang dicarinya, suatu pekerjaan yang biasa ditanggung laki-laki. Tapi ia melakukannya dengan alasan yang sama. Ia sosok ibu rumah tangga yang "selbstständig" (mampu mandiri) dan selalu mencari akal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam rumah tangga. Dia jelas bukan tipe wanita ilmiah yang sibuk dengan pena dan kitab seperti adiknya. Tetapi ia pun wanita shalihah, wanita teladan sahabat Rasul S.A.W. termasuk salah satu "bintang cemerlang" di langit sirah Nabawiyah yang agung.
Adalah suatu waktu Rasulullah menyebutkan nama seorang wanita sebagai calon ahli surga, Muti'ah namanya, tidak banyak yang orang ketahui tentang kehidupan wanita ini selain suatu riwayat yang menyertai pengumuman Rasul tersebut. Salah seorang saksi mata mengatakan bahwa Muti'ah selalu menyambut kedatangan suaminya dengan bersolek sebaik-baiknya, menyediakan makanan yang enak dan hangat di atas meja dan.....seutas cambuk. Ia berkata pada suaminya : "Silahkan kakak makan dan minum, silahkan kakak gunakan diriku sebagaimana yang kakak mau dan cambuklah aku kalau ada di antara pelayananku yang tidak memuaskan hati kakak." Hanya itu riwayat tentang Muti'ah. Tapi dari riwayat yang secuil itu sudah banyak kita dapatkan pelajaran berharga
Dalam taman sirah, ternyata banyak wanita muslimah dengan tipe berbeda-beda. Bahkan masih ada sosok Shofiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah S.A.W. yang pernah dengan berani memancung leher Yahudi yang mengintai benteng tempat muslimah dan anak-anak muslim.
Ada pula Nusaibah, sahabat wanita yang bersedia menjadi perisai hidup bagi Rasulullah S.A.W.
Bagaimana dengan rumah tangga kita ? "Baiti Jannati" kata Rasulullah S.A.W. Apakah kita dapat mengatakan yang sama ? Apakah suami kita merasakan kebahagiaan yang sama ? Insya Allah demikian, sebab jika tidak, ....na'udzubillah! Berarti ridho suami masih harus kita kejar dan kita cari.
Tugas wanita di dalam rumah tangga sangat banyak. Jika sudah sibuk di rumah maka tidak ada lagi waktu menganggur. Pekerjaan rumah tangga seperti tidak ada habis-habisnya. Belum lagi urusan anak, kita menyebutnya "Amal yang tak berujung". Artinya itu adalah lahan amal yang tidak pernah kekurangan bahan. Baru selesai cuci piring makan pagi sudah harus memasak makan siang. Baru selesai memakaikan baju si kakak, si adik sudah mengompol lagi. Itu semua bisa jadi cuma tuntutan situasi. Tapi yang mana yang menimbulkan ridho suami ?
Yang perlu diperhatikan oleh seorang istri, adalah apa yang diinginkan suaminya. Apa yang menjadi kegemarannya dan sosok istri seperti apa yang ia ingin kita tempuh, kita usahakan. Hendaknya setiap istri lebih mendahulukan kemauan suami-nya dari pada kemauan dirinya sendiri. Mudah-mudahan kita semua termasuk golongan yang berkumpul di surga dengan pasangan kita masing-masing. Amiin !
 
 

Hikmah Kematian

Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Apakah kita tidak menyadari bahwa hari-hari yang kita lewati justru semakin mendekatkan kita kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.
Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya.
Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.
Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat kita akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian kita. Di rumah, ruang dan tempat tidur kita akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik kita akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik kita akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian kita. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang kita. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi kita yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah kita diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi kita.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah kita dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas.
Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.
Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera*setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk lenafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa.
 Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:
Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.


http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/hikmah-kematian.html 

Sukses Dengan Rendah Hati

Kata Mujahid, ‘Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh alayhissalam, maka gunung-gunung meninggi dan kayu-kayu menunduk, sehingga dengan izin Allah swt. tercipta landasan pacu bagi kapal Nabi Nuh.
Lalu Allah swt. berfirman kepada gunung-gunung, ‘Aku akan mengajak seorang Nabi bercakap-cakap di atas sebuah gunung’.
Maka, setiap gunung berusaha meninggikan dirinya masing-masing. Sementara, bukit Thursina tidak ikut-ikutan. Ia hanya menundukkan dirinya. Akhirnya, Allah swt. memilih bukit Thursina sebagai tempat percakapan dengan Nabi Musa, karena tawadhu’-nya bukit itu’.
Tawadhu (rendah hati) sangat baik untuk setiap orang, dan lebih baik lagi buat orang-orang kaya. Takabbur (sombong) adalah buruk untuk setiap orang, dan lebih buruk lagi  buat orang-orang miskin.
Seseorang tidak akan tinggi kedudukannya kecuali dengan sikap rendah hati, dan seseorang tidak akan terhina kecuali dengan kesombongan.
Allah telah memperingatkan kita dalam firmannya:
"Dan janganlah berjalan di muka bumi dgn sombong,karena sesungguhnya engkau tdk akan dapat menembus bumi dan tdk akan mencapai setinggi gunung (QS.Al Isra" :37)
"Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan dg angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yg angkuh dan menyombongkan diri (Lukman:18)
Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuannya.
Allah berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya,” (QS al-A’raaf: 146).
Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bersikap tawadhu karena mencari ridha Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi,” (HR al-Baihaqi).
Maka Merendahlah, engkaukan seperti bintang gemintang, Berkilau dipandang orang di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah hina. (K.H. Rahmat Abdullah).”
 
 

Bahaya Ghibah (ngegosip)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
PELAJARAN PENTING ARTI GHIBAH
Syaikh Abdullah al Bassam rahimahullah dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram(IV/599, Kairo)
menjelaskan poin-poin penting yang bisa diambil dari hadits diatas:
Definisi Ghibah
Nabi shallallhu’alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah dengan menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang engkau ucapkan sementara saudaramu membenci jika tahu engkau mengatakan demikian maka itulah ghibah. Baik dia orang tua maupun anak muda, akan tetapi kadar dosa yang ditanggung tiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia ucapkan meskipun pada kenyataannya sifat tersebut ada pada dirinya.
Adapun jika sesuatu yagn engkau sebutkan ternyata tidak ada pada diri saudaramu berarti engkau telah melakukan dua kejelekan sekaligus:
ghibah dan buhtan (dusta).
Nawawiy rahimahullah mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Termasuk ghibah adalah ucapan sindiran terhadap perkataan para penulis (kitab) contohnya kalimat: ‘Barangsiapa yang mengaku berilmu’ atau ucapan ’sebagian orang yang mengaku telah melakukan kebaikan’. Contoh yang lain adalah perkataa berikut yang mereka lontarkan sebagai sindiran, “Semoga Allah mengampuni kami”, “Semoga Allah menerima taubat kami”, “Kita memohon kepada Allah keselamatan”.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ذِكْرك أَخَاك (engkau menyebut-nyebut saudaramu) ini merupakan dalil bahwa larangan ghibah hanya berlaku bagi sesama saudara (muslim) tidak ada ghibah yang haram untuk orang yahudi, nashrani dan semua agama yang menyimpang, demikian juga orang yang dikeluarkan dari islam (murtad) karena bid’ah yang ia perbuat.”
Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Mereka berdalil dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالكُمْ وَأَعْرَاضكُمْ حَرَام عَلَيْكُم
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas (sesama) kalian”.( HR Muslim 3179, Syarh Nawai ‘ala Muslim) 
 
 

~..~ Sentuhlah Aku Setelah Kau Bersuci ~..~

Mungkin para pembaca akan punya pikiran yang beraneka ragam ketika membaca judul diatas, bahkan bisa jadi ada yang berkata "Emang siapa sih kamu, kok sombong amat?!" atau mungkin ada yang berpikiran bahwa penulis sedang dikhianati kekasihnya, dan dikatakanlah kata itu sebagai syarat damai dan rujuk kembali. Apakah demikian?he he he
Semua orang pada dasarnya suka dengan kesucian, baik kesucian cinta, kasih-sayang, jiwa, raga, pakaian, makanan dan lain sebagainya. Hanya saja untuk mendapatkan sebuah kesucian membutuhkan berbagai macam usaha, perjuangan, dan pengorbanan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak di capainya. Meskipun kita tahu bahwa orang-orang yang terjebak dalam jurang ke-najis-an tak bisa dihitung jumlahnya, namun bukan berarti mereka tidak suka dengan kesucian. Hanya saja mungkin kesukaan kepada kesuciannya terlalu tipis dan terkalahkan oleh nafsu ke-najis-an dalam dirinya.
Kesucian dalam cinta, setiap perempuan tentu sangat suka jika kekasihnya mencintainya dengan cinta yang suci, yang bersih dari khiyanat, selingkuh, kekerasan, memperbudak, dan berbagai kotoran yang termasuk hal-hal yang membatalkan cinta yang suci. Maka wajarlah jika seorang perempuan berkata "sentuhlah aku setelah kau bersuci" tentunya bukan bersuci untuk sholat, sebab kalau bersuci untuk sholat terus menyentuhnya tentu menjadi batal (tidak suci) lagi.
Laki-laki pun seperti itu saya pikir, dalam soal cinta rata-rata akan sangat suka kalau kekasihnya mensucikan hatinya dari orang lain, kecuali memang punya budaya nomaden (alias suka pindah-pindah) apalagi tak punya tujuan untuk menetap, bisa jadi akan memakan banyak korban-korban hati yang berjatuhan hancur seperti serpihan kaca. Ah.. betapa banyak kisah seperti itu dalam kehidupan ini, dan mungkin semua orang pernah merasakannya dengan standar masing-masing, hanya untuk memburu cinta yang suci.
Kesucian raga, tentunya semua orang pernah mandi, dan tujuannya tak lain adalah membersihkan badan dari kotoran, baik kotoran dhohir ataupun kotoran bathin (maknawi). Kita tentu akan marah ketika orang yang penuh kotoran ditubuhnya tiba-tiba menyentuh kita, bahkan menyentuh barang milik kita saja kita akan marah, atau paling tidak akan berkata "sentuhlah aku setelah kau mandi". Bukan hanya badan yang kotor kita enggan disentuhnya, bahkan bau badan yang nggak sesuai aja kita enggan berdekatan, apalagi disentuhnya.
Manusia memang sering lupa terhadap berbagai kotoran dalam tubuhnya, karena keterbatasan jangkauan mata yang dimilikinya, hingga tak mampu melihat matanya sendiri yang terkena pasir, atau bahkan "blobok" (aduh sori ya, apa sih namanya kotoran diujung mata, kalau habis tidur?). Maka dari itulah dibutuhkan cermin untuk melihat kekurangannya, dan cermin itu tak lain adalah "orang lain".
Adalah salah, jika orang melihat wajahnya buruk lalu menghantam cermin yang ada, bukankah tidak baik, "tak bisa menari menyalahkan lantai yang tidak rata". Kecuali cermin yang ada memang juga cermin yang kotor, makanya kalau bercermin pada cermin yang bersih agar tahu kotoran dalam tubuh kita, apalah untungnya bercermin pada cermin yang kotor? Keindahan kita aja jadi kotor dan nggak jelas, apalagi kotoran kita malah tidak tampak.
Begitulah soal bercermin untuk tubuh kita, kalau cermin untuk pikiran kita adalah pembaca, dan tulisan adalah tubuh kita, kenapa harus takut dengan apa yang akan terlihat di cermin, toh itulah sesungguhnya kita. Kenapa takut dengan kritik orang atas tulisan kita, asalkan dia adalah cermin yang bersih tentunya kebaikan untuk kita benahi kekurangan yang tampak, kalau ternyata pengkritik hanya cermin yang lusuh, biarkan saja "anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu".
Biasanya untuk cari sensasi orang-orang suka bercermin dengan topeng, apalagi musim pemilu, bisa dipastikan topeng-topeng akan beraneka ragam, maka tak heran kalau topengnya dibuka, mengalir darah dan nanah di wajahnya. Ah..betapa beratnya bercermin dengan wajah kita sesungguhnya, sampai kapankah kita tetap memakai topeng itu?
Jika semua orang memakai wajah aslinya, damailah alam semesta.
Adakah manusia yang tak pernah kotor? Setiap manusia pernah bergelut dengan kotoran, baik kotoran jiwa maupun raga, hanya Allahlah yang selalu suci dan tak akan bisa mendekatiNya kecuali jiwa-jiwa yang disucikan. Bahkan mendekati surat-surat cintaNya pun hanya boleh untuk tubuh-tubuh yang disucikan. "Laa yamassahu illa-lmutthoharun" Jika tubuhmu ingin menyentuh tubuh Al qur'an (Mushaf) maka bersihkanlah, dan jika jiwamu ingin menyentuh jiwa Al qur'an maka bersihkanlah pula.
Mungkin sebagian orang bisa menyentuh mushaf dalam keadaan kotor, tapi manusia tak akan mampu menyentuh jiwa Al qur'an dengan jiwa yang kotor. Lalu dimanakah penghormatan dan kecintaan kita yang kita teriak-teriakkan pada semua orang, jika bersuci pun kita enggan sebelum menyentuh surat-suratNya. Lalu bagaimana jiwa kita bisa menyentuhnya jika membersihkan raga yang tampak jelas saja kita enggan?.
Maka pantaslah bagi Allah, berkata "Sentuhlah Aku setelah kau bersuci", "Sentuhlah KalamKu dengan tubuh yang disucikan" karena hanya Dialah yang selalu suci.
Marilah kita mempelajari cara-cara bersuci dan mulai melakukannya sedikit demi sedikit, teratur, dan kontinyu untuk membersihkan jiwa kita dari berbagai noda hitam kenajisan yang terlalu sulit untuk dilihat mata, bahkan mata hati kita masih tidur berselimut dosa. Jika tidak ada cermin yang bisa menunjukkan keadaan kita, marilah kita raba diri kita, seperti apakah kita sebenarnya??