“ Benarkah engkau jodoh yang diberikan Allah kepadaku ? “
Bertanya Mentari pada selembar kertas yang masih terlipat rapi di
hadapannya. Pagi tadi Ummi Farah memberikan kertas itu padanya. Hampir empat
tahun setelah Mentari ditanya Ummi Farah tentang kesiapannya menggenapkan
separuh dien. Kini selembar biodata yang dinanti-nanti, benar-benar berada di
hadapannya. Matanya menerawang dalam diam. Menemani lintasan kenangan yang
berkecamuk dalam pikirannya …..ia belum berani membuka kertas itu …
Alun-alun kota Solo, menjelang Dhuhur..empat tahun yang lampau.
Beberapa saat yang lalu, serombongan besar wanita muda berjilbab berdemo
mengusung tema besar anti pornografi. Mentari bersama dua sahabatnya,
Wida dan Nana, berjalan menuju halte di jalan Slamet Riyadi.
" Tari, Wida.. ana duluan ya… tuh kak Fauzi udah nunggu di
depan telpon umum ". Nana pamit sambil menunjuk ke arah seorang
pemuda tegap berbaju rapi ala kantoran.
" Aduh… pengantin baru, nggak sabar nih cepet sampai
rumah…", goda Wida sambil melempar senyum simpulya.
"Iya, udah lupa ya sama asrama "Pondok Putri" tempat
kita tumbuh dan berkembang " Tari menimpali.
" Maaf deh saudari-saudariku, makanya pada cepet punya
suami..biar nggak ditagih ibu kos lagi tiap bulan…". "
Wuuuu…lagaknya !! "
Nana tersenyum penuh kemenangan. Sebentar kemudian ia telah meninggalkan
Mentari dan Wida. Panas kota solo di pertengahan tahun memang cukup merepotkan,
meski tidak sepanas kota jakarta. Orang-orang malas untuk terus-terusan berdiri
mematung dipinggiran jalan. Setiap bus kota yang datang disambut dengan
kejar-kejaran dan desak-desakan antar penumpang. Tentu saja Mentari dan Wida
selalu ketinggalan. Mereka tak bisa sembarangan melompat dan bergantungan.
Bisa-bisa jilbab dan gamis panjang mereka akan jadi korban.
Satu jam berlalu, tak ada kemajuan. Mereka masih setia menunggu Bus antar
kota yang akan membawanya ke kawasan Plasa Ambarukmo Jogyakarta. Namun langit
berganti warna, panas berlalu tanpa sisa. Hujan pun mulai turun.
Mentari dan Wida masih terjebak di halte. Dalam lelah yang
berkepanjangan. Mendadak….datang dua orang pemuda. Satu berambut gondrong. Satu
lainnya beranting. Keduanya memakai baju khas orang kuliahan. Ada hasrat buruk
tergambar dari kilatan mata mereka.
" Halo ceweek .. godain kita doong, dari kampus mana nih ? ",
seorang dari mereka mulai menyapa dengan kedipan mata yang genit.
" Eh.. elo yang tadi orasi ya ? yang katanya nolak pornogafi ya ",
tambah seorang lagi sambil menunjuk ke arah Mentari. Mentari dan Wida merasa
terancam, mereka bergerak menjauh. Tapi dua pemuda itu masih berhasrat
mendekat.
" Hei cewek, jangan munafik loo.. gue tahu loe punya pacar dan rutin
kencan kan tiap malam minggu di kos-kosan.."
Muka Wida memerah dahsyat mendengar ocehan sang berandal. Jiwa petarungnya
sebagai mantan atlit karate tak bisa membiarkan ini terjadi.
" Jangan sembarangan kalau bicara, kalian belum tahu berhadapan dengan
siapa." Namun gertakan Wida berlalu begitu saja. Mereka malahan tambah
nekat.
" Iya, apa gunanya pake jilbab kalau sudah tidak perawan lagi. Mending
jilbabnya di copot saja …., sini biar gue yang copot kalau tidak mau " .
Sreeet !!! Jilbab Mentari menjadi sasaran ! Mereka menariknya dengan paksa.
Mentari berusaha mempertahankannya.. " Tolooooong ! Rampook ! "
Mentari berteriak meminta pertolongan. Tapi derasnya hujan meredam suaranya.
Beberapa orang yang melihat dari jauh diam tak bergerak. Ketakutan.
Buuk ! Tendangan samping Wida tepat mengenai punggung seorang pemuda
berandal. Ia sempat terhuyung beberapa saat. Seorang lagi masih menarik kuat
jilbab yang dipakai Tari. Buuk ! Sreeet !.Terdengar dua teriakan yang
berbeda sumbernya. Satu teriakan dari pemuda berandal yang menarik jilbab tari.
Ia terkena tendangan Wida tepat di titik kelemahannya. Satu teriakan lagi
keluar dari mulut dan nurani Tari. Jilbab yang dikenakannya terlepas. Tetesan
hujan membasahi rambutnya yang panjang.
" Tolooong …… !!! ", Mentari panik. Ia mendapati dirinya sangat
asing dengan rambut yang terurai tanpa penutup. Ia merasa bagai terjebak di
sarang penyamun yang haus tubuh wanita. Wida segera menarik Tari menjauh
dari halte itu. Kedua berandal masih sempat mengancam dalam kesakitannya.
Beruntung, sebuah Taksi tepat berhenti di depan Tari dan Wida, memberikan
tumpangan.
Malam pun menjelang dengan membawa seribu kesan menyakitkan dalam diri Tari.
Hari itu begitu berat bagi seorang Tari. Demonstrasi yang melelahkan ditambah
kejadian mengerikan di halte siang tadi. Mendadak Tari ingat Nana, sahabatnya
yang juga ikut demonstrasi siang tadi. Mentari merenung dalam kesendirian di
kamar kosnya …Ah, betapa beruntungnya kau Nana, ada yang menjaga dan
memperhatikanmu karena engkau sudah bersuami.… Ucapnya dalam hati " Ya
Allah, datangkanlah kepadaku seorang yang Kau janjikan untuk menemani dan
meneguhkan hidupku.." Mentari pun tenggelam dalam doa-doa yang tak pernah
bosan ia panjatkan.
--------------------------------------------------------------------------------
Asrama Pondok Putri. Pagi hari, tiga tahun yang lalu.
Pintu kamar Mentari di ketuk tiga kali. Sahabatnya, Wida, masuk memberi
salam, keduanya berpelukan seolah lama tak bertemu.
" Subhanallah, my lovely Wida… bumi bagian mana yang tega
menelanmu selepas wisuda Februari, tiga bulan yang lalu.. tak ada kabar, telpon
atau surat ? ".
" Afwan Tari, aku pulang ke Bandung. Di sana ternyata banyak proyek
yang harus kugarap. Tahu sendiri kan ? Papa memang dari dulu sudah nunggu lama
kelulusanku. Beliau ingin aku menjadi manajer akuntan di perusahaannya. "
" its OK ukhti, tapi janji ya kamu nginep lama di sini… ada banyak
cerita baru lho di kampus kita ".
" Justru itu Tari.. aku ke sini memang khusus untuk menemuimu. Aku
ingin kau mengetahuinya langsung dariku, meski sebenarnya bisa saja kalau aku
poskan undangan ini dari Bandung.. ".
" Undangan ? Walimah maksudnya ? Subhanallah… akhirnya kau menikah juga
Wida.Tadinya aku kira aku yang duluan.. selamat ya… mana undangannya ?
" Wida mengulurkan sebuah undangan berwarna merah muda. Indah dan berkesan
bagi penerimanya.
Keduanya kembali berpelukan. Isak tangis mulai terdengar pelan. Bahagia
dalam haru. " Maaf Tari… aku harus menikah terlebih dahulu. Aku takut jika
terlalu larut dalam perusahaan nanti…aku bisa sibuk dan lupa nikah. Lucu ya kedengarannya
? tapi memang begitu kemarin nasehat orangtuaku di rumah. Nah, kamu sendiri
gimana kuliahnya ? " Wajah mentari mendadak berubah muram.
" Yaah.. kamu tahu sendiri kan dengan Mr. Kosmo ( julukan untuk dosen
paling killer dikampus ) ? Beliau tuh sangat teliti kalo pas ngoreksi. Tapi
apapun, aku usahakan September ini aku udah angkat kaki dari kampus ini. Eh…
tapi jangan lupa doain ya Wid..! ".
" Jelas dong… mau didoakan cepet wisuda atau cepet nikah ? " .
" Cepet Nikah dong !!! eh… maksudku kalo bisa dua-duanya dapet
gituu.. " .
" Iya non.. aku juga tak tega membiarkanmu menjadi bidadari ketinggalan
kereta ! "
Buuk ! Serasa ucapan Wida yang terakhir bagai tendangan karatenya yang tepat
mengenai ulu hati Mentari. Sakit memang, tapi Tari sadar sahabatnya itu hanya
ingin memberikan motivasi padanya untuk tetap tegar ! Selepas kepergian Wida,
Tari kembali merenung dalam kamar. Tangannya asyik membolak-balik undangan
Wida. Ah..ini bukan yang pertama bagi Mentari. Bukan yang pertama kali Mentari
ketinggalan kereta, seperti kata Wida. Seminggu yang lalu Dina, teman
seangkatannya nikah dapat anak Medan.
Bahkan sebulan yang lalu malahan si
centil Tasya, adik kelasnya dua tingkat, sukses di lamar teman satu jurusannya
! Tari menghidupkan PC-nya yang setia menemani hari-hari kuliahnya selama lima
tahun terakhir ini. Dibukanya sebuah file di program Corel Draw. Nampak di
layar sebuah desain undangan pernikahan yang anggun dan manis. Tertulis
di dalamnya…
Menikah : MENTARI CANDRASARI bin H. RAHMAT dengan .. MR. MOST
WANTED !!! ! Mentari termenung berkaca-kaca. File itu sudah setahun lebih
dibuka dan diedit, tanpa tahu kapan akan diprint dan digunakan.
*******************
Rumah Mentari yang anggun , di sisi utara pulau jawa, dua tahun yang
lampau.
Matahari pagi yang cerah menemani keluarga Mentari. Kemarin sore Tari, putri
satu-satunya keluarga Haji Rahmat, baru saja datang dari Jakarta. Mereka
berkumpul hangat di ruang keluarga.
Hari itu terasa istimewa bagi pak Rahmat, ayah Mentari, dan juga bagi
ibunya. Tapi tidak bagi Mentari. ..ada seorang dari masa lalu yang tiba-tiba
dibicarakan oleh bapak ibunya. Andri, teman sekolahnyanya saat SMU dulu,
sepekan yang lalu menelpon Haji Rahmat. Tari penasaran meski ia tak merasa
punya alasan untuk penasaran.
“ Bapak kenal Andri juga ya Pak ? “.
“ Oo.. bukan kenal lagi Tari, Bapaknya itu kan pak Joko toh ? Beliau dulu
kawan Bapak semasa masih muda merantau di Jakarta. Kami sama-sama ngontrak
rumah di Tanah Abang, sebelum akhirnya Bapak dipanggil kakekmu untuk nikah sama
ibumu ini.. “ .
“ Lalu ? apa maksudnya seminggu yang lalu ia menelpon Bapak ?“.
“ Jadi begini… Nak Andri sudah mengutarakan niat baiknya untuk melamarmu.
Dan pak Joko juga secara khusus sempat menyinggung masalah ini kemarin saat
telepon.. Besok pagi Andri mau ke sini khusus untuk bertemu kamu… “
Wajah Tari berubah. Seolah tak percaya dengan pendengarannya.
“ Tapi Pak ? Tari kan belum tentu menerima…… “ .
“ Huss ! jangan membantah dulu… yang penting besok kau temui dia. Siapa tahu
cocok…Bapak dan Ibu sebenarnya terserah kamu, tapi inget Tari.. usiamu sudah
tidak muda lagi..Ibumu kemarin nangis karena ada tetangga yang ngomongin kamu
calon perawan tua ! “.
Mentari diam. Mencoba untuk teguh meski hatinya tergugu. Dia tahu persis
siapa Andri yang dulu. Meski lima tahun ia tidak ketemu, Mentari tidak yakin
Andri berubah seperti yang diinginkannya.
Pagi menjelang dengan cahaya yang riang. Mencoba menyinari hati Tari yang
masih bimbang. Di ruang depan, bapaknya masih sibuk dengan seorang tamu muda.
Andri namanya. Pakaiannya perlente, khas eksekutif. Tumpangannya jauh dari yang
Tari perkirakan. Kalau dulu saat sekolah, Andri hobby ganti-ganti motor sport
yg bunyinya knalpotnya saja bisa membangunkan orang satu RT. Tapi kini sebuah
sedan metalik dengan anggun parkir di depan rumah Tari. Mobil Andri kah ? atau
mobil orangtuanya ? Ah.. bagi Tari itu sama sekali tidak penting.
Hati Tari bergetar hebat, apalagi saat ayahnya memanggil, menyuruhnya
bergabung di ruang tamu. Tari melangkah pelan. Dengan malu-malu ia tundukkan
pandangan dan menuju keruang tamu. Ia merasa sorot mata Andri terarah lurus ke
arahnya. Mencoba menelanjangai jilbab lebar dan jubah rapi yang
dikenakannya. Mendadak Tari merasa risih..…
“ Ini Tari ? waah.. sekarang pakai busana muslim ya ? Kapan pergi hajinya
Tari ? bareng pak Rahmat ya ? “.
Pergi haji ? Apa hubungannya dengan kewajiban memakai jilbab ? Tapi Tari
tidak merasa bingung. Andri masih seperti dulu. Tidak mengenal dan memahami
Islam sama sekali.. Tari tambah risih saat Bapak minta ijin keluar sebentar,
meninggalkan Tari dalam kungkungan rasa yang menakutkan. Ini khalwat ! bisiknya
dalam hati. Yang ketiga adalah setan !
“ Ada perlu apa Andri ? Ada yang bisa di bantu ? “, sapa Tari dengan gaya
yang tidak dibuat-buat. Pandangannya masih tertunduk. Tegas, tapi tidak ketus.
“ Hah ! Bapak dan Ibu tidak bilang sama kamu sebelumnya ? Aku datang
untuk menyampaikan niat baik melamarmu Tari… kalau kamu berkenan, seminggu lagi
keluargaku akan datang melamarmu.. bagaimana Tari, kau setuju kan ? kita akan
menyambung kembali cerita dan kenangan cinta kita saat SMU dulu.. “.
Tari merasa terusik dengan kalimat terakhir Andri. Kali ini ia benar-benar
muak. Kenangan masa lalu yang sedemikian lama telah terhapus, mencoba menghujam
masuk kembali dalam diri Tari. Sejak tamat SMA Tari sudah bertekad mendalami
islam secara kaffah. Tidak ada istilah pacaran dalam kamus hidup Tari semenjak
itu.
“ Maaf Andri, aku bukan Tari yang dulu…kau salah datang kepadaku ..” Mata
Andri melebar. Ia seperti tidak percaya Tari mengatakan hal seperti itu. Tari
yang dulu selalu setia menemani hari-hari indahnya saat SMU. Kini dihadapannya
bagai sosok asing yang tak pernah dikenalnya.
“ Tari !! aku datang kembali untukmu… lima tahun aku memendam cinta ini
Tari…, ingatkah kau saat-saat indah kita dulu Tari…, Tari… bukankah dulu kita
pernah berjanji sehidup semati, Tari, lupakah kau dengan semua itu… Tari…. “
“ Tidaaaaaaaaaak ! Kau tidak berubah Andri !Maaf, mungkin kita tidak
jodoh. Titik !! “ Tari bergegas masuk kembali ke ruang dalam. Meninggalkan
Andri dalam keheranan yang panjang. Sementara Bapak ibu Tari saling
berpandangan heran. Mereka berdua masih menyimpan beban. Kapan putri
satu-satunya akan ke pelaminan ?
Tari menangis dalam kamar. Ia menangis bukan karena Andri. Ia sama sekali sudah
melupakan masa lalunya yang kelam bersama Andri. Ia menangis, karena baru kali
ini ada seorang yang datang untuk melamarnya. Baru kali ini. Tapi mengapa yang
datang Andri ? Pacarnya di masa lalu. Seorang lelaki yang sama sekali tidak
diharapkan dan tidak disangka-sangkanya.
Mengapa bukan ustad Agus, Akhi Budi, Mas Hanafi, Pak Irvan, Fajar,
Wisnu atau teman-teman lain yang aktif di kegiatan masjid ?.Mengapa bukan
mereka-mereka yang hanif dan sholih yang datang? Sehingga Tari bisa semakin
teguh mengarungi hidup ini ? Kemana mereka semua ? Kemanaaa ? Tari
berteriak dalam hati, menanti sebuah jawaban.
“ Yaa Allah, kemana hamba2MU yang lainnya yg sholeh ? Andri kah yang Engkau
takdirkan menjadi jodoh hamba ? Hamba belum bisa menggali hikmah dibalik
takdirMu ini yaa Raab, beri hamba kekuatan..” Rintih Tari dalam munajatnya.
***************************
“ Benarkah engkau jodoh yang telah di janjikan Allah kepadaku ? “ Kembali
Mentari bertanya pada kertas bisu dihadapannya. Dengan hati-hati
dibukanya kertas itu pelan-pelan. Seolah didalamnya ada sesuatu yang sangat
berharga. Mentari mendapati sebuah nama yang tidak asing baginya…. Agus
Budiman. “ Ustad Agus ??? Benarkah ?? Subhanallah … “,
Tari memang harus terkejut. Tentu ia tidak mempunyai alasan untuk tidak menerima
Ustad Agus. Ia seorang yang mempunyai pemahaman Islam yang sangat baik. Ia
seorang ustad yang sangat terkenal di kalangan teman-temannya di kampus. Buah
keikhlasannya dalam membina telah melahirkan banyak kader dakwah dari masjid
kampusnya. Sungguh ! Tari tak mempunyai alasan untuk menolaknya. Apalagi
jika mengingat usianya yang sudah dua tahun melewati seperempat abad ! Juga
tangisan ibunya terkasih yang selalu memintanya untuk segera bersanding di
pelaminan..
Tapi…. Mendadak Tari tertegun. Ingatannya kembali menerawanag. Beberapa
bayang wajah anggun mengitari benaknya. Ia mengingat beberapa seniornya di
kampus yang belum menikah ; Mbak Rahma, Mbak Santi…dan juga Mbak Zaenab.
Mbak Rahma, pembimbing mentoringnya saat Tari belum berjilbab di tingkat satu.
Usianya kini menjelang kepala tiga. Sudah dua tahun ini ia tidak banyak
kelihatan. Sakit organ dalam membuatnya harus banyak beristirahat di rumah.
Lain lagi dengan Mbak Santi, dua tingkat di atasnya dulu di kampus. Sekarang
sibuk bekerja di perusahaan konveksi, dari pagi sampai sore.
Sesekali saat libur, masih sempat untuk diminta mengisi kajian muslimah di
kampus. Mbak Santi memang harus kerja keras mencari nafkah. Ia anak sulung dari
delapan bersaudara. Ayahnya sudah tiada sementara ibunya sudah cukup renta
untuk bekerja. Mbak Santi adalah tulang punggung di keluarganya.
Cerita tentang Mbak Zaenab lebih memilukan. Suaminya, almarhum ustad Ahmad,
meninggal tertembak saat dikirim untuk berdakwah di daerah konflik Ambon.
Ia meninggalkan dua putri yang masih sangat lucu-lucu, Hana dan Aisyah.
Aktifitasnya sekarang menjadi pengajar SD Inpres, untuk mencukupi kebutuhan
hidup dua putri kecilnya.
Perlahan-lahan mata Tari berkaca-kaca. Air matanya mengambang tenang.
Bayang-bayang wajah ketiga seniornya menari-nari dihadapannya. Mengapa bukan
mereka yang dilamar ustad Agus ? Mengapaa ? Mereka jauh lebih berhak dan
membutuhkan daripada aku … Tililliiiiiit…..Tililiiiiit .. deringan HP memecah
kesunyian lamunan Tari. Suara bijak dan salam akrab Ummi Farah terdengar dari
seberang. “ Bagaimana ukhti Tari ? bersedia bukan ? Beliau siap kapan
saja bertemu untuk ta’aruf ..” “ Engg…..begini Mi, mungkin saya
perlu istikharoh dulu.Mungkin seminggu lagi saya baru bisa ambil keputusan… “ “
Baiklah… saya tunggu ya, dan semoga Allah memberi kemudahan..” Suara salam
penutup terdengar dari arah seberang. Pembicaraan telah selesai. Namun
bayang-bayang Mbak Rahma, Santi, dan Mbak Zaenab masih setia mengiringi langkah
Tari.
*****************************
Dua bulan berlalu. Hari yang bahagia. Suasana walimah yang meriah
namun terjaga nuansa kesyahduannya. Tamu laki-laki duduk terpisah dari
tamu perempuan. Terdengar aluanan nasyid pernikahan menggetarkan hati pendengar
lajangnya.
Tari duduk anggun berseri-seri. Jilbab dan bajunya yang rapi menambah
suasana hatinya yang lega dan tenang. Dengan perlahan Tari melangkah, menemui
seorang wanita yang jadi pusat perhatian para tamu sedari tadi. Di sisi wanita
itu ada dua putri cantik yang masih kecil-kecil. Tari menyalami haru wanita tersebut.
Keduanya berpelukan.
“ Mbak Zaenab, Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fi
khoiriin… selamat ya Mbak semoga bahagia dan berkah menyertai keluarga
baru Mbak..”.
“ Jazakillah khoiron ya dik, semoga dik Tari juga cepat menyusul ya..Nanti
saya minta mas Agus mencarikan khusus buat dik Tari ya.. beliau kan punya
kenalan banyak.. “.
“ Amiin… doanya ya Mbak..Tari tunggu lho janjinya.hehe...” .
“Insya Allahdek Tari…. “
Lega dalam rasa bahagia dan syukur yang terpanjatkan. Tari berpamitan dan
melangkah pulang. Mencoba merenda hari-hari penantian yang baru. Jiwanya
tenang. Tidak ada penyesalan. Ia ingat persis, saat selesai sholat istikharoh
dulu, yang muncul selalu saja bayang-bayang Mbak Rahma, Mbak Santi, dan
Mbak Zaenab. Wajah ustad Agus tak pernah terlintas dalam malam-malam
istikharohnya.
Kini dalam hari-hari penantiannya, Tari yakin, ia tidak sendiri. Sebagaimana
juga ia yakin, akan ada sesosok laki-laki hanif yang akan menyapanya dengan
cinta. Entah satu bulan lagi, dua bulan, satu tahun, atau entah saat senja
nanti. Ia yakin Allah telah menjanjikan sebuah cinta yang akan datang
menyapanya.
“ Ya Allah, datangkanlah kepadaku seseorang yang akan meneguhkanku dalam
hidup ini, dan berikan kesempatan kepadaku untuk berbakti kepadanya, melahirkan
dan merawat anak-anaknya untuk menjadi anak sholih dan sholihah. Agar saat kami
telah renta atau telah tiada, akan ada mereka yang senantiasa mendoakan
kami berdua“.
Kembali Tari teringat janji Allah dalam firmanNya:
” Wanita-wanita
yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula)”. (QS An Nur:26).
Janji Allah itulah yang selalu meneguhkan hati Tari. Sedikitpun ia tidak
pernah ragu akan kebenaran janji Allah. FirmanNya adalah benar dan janjiNya
juga pasti benar.. !
“ Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka aku tidak akan meminta
disegerakan datangnya. Biarlah masa depanku datang dgn sendirinya. Allah lebih
tahu yang terbaik untukku menurutNya, bukan yang terbaik menurutku. Saat ini
aku memang masih sendiri, itu karena Allah masih mengujiku sampai dimana
kesabaranku. Lebih jauh lagi diriku masih dibutuhkan oleh teman2 kampus untuk
melanjutkan dakwah ini...” Hibur hati Tari menenangkan diri. Sebuah
keyakinan yg menancap kuat dalam sanubarinya. Suatu keyakinan kepada janji
Allah yg tidak akan runtuh sampai kapanpun. Suatu keyakinan yg dia pegang
seyakin-yakinnya.
----------------------------------------------------
2 tahun kemudian..
Umur Tari sudah hampir mendekati kepala tiga. Ayah ibunya tiap hari
dirundung kesedihan atas nasib dirinya yg tidak juga menikah. Tapi keajaiban
Allah selalu menyertai hamba2Nya yang sabar dan tawadhu’ dijalanNya. Sekali
lagi Allah menunjukkan kuasaNya.
Dengan perjuangan yg berdarah-darah dan tanpa lelah,akhirnya Tari diwisuda
untuk gelar Master di jurusan Syariah di kampusnya. Seminggu setelah wisuda S2
nya, Tari dilamar kembali oleh Andri untuk kedua kalinya.
Kali ini ia datang tanpa sedan mewah miliknya dulu. Ia datang dengan sepeda
motor saja, dan tanpa orang tuanya. Busananya juga berbeda. Ia memakai baju
koko dengan bordiran yang sangat indah, dipadu dengan sebuah peci putih di
kepala dan celana panjang sedikit diatas mata kaki dari bahan kain halus.
Sedikit jenggot tipis tumbuh dibawah dagunya. Wajahnya bersih dan kelihatan
bersinar.
“ Tari, kali ini aku datang kepadamu bukan dengan membawa cinta kita yg
dulu. Kali ini aku datang dengan cinta yg berbeda dari yg kita miliki waktu
SMA. Kali ini aku datang atas nama cinta dari Allah yg telah memberi hidayah
kepada diri ini yg dulu sempat jauh dari pangkuan tarbiyahNya. Aku datang
kesini bermaksud melamarmu. Dulu engkau pernah berkata padaku bhwa cita2mu
adalah engkau hanya mau dikitbah oleh seorang laki2 yg hafal alquran. Jika
engkau berkenan, sekarang ini aku ingin mengkitbahmu dengan hafalan alquranku.
Engkau bisa membuktikan itu sekarang juga..”
Tari hampir tidak percaya dengan apa yg barusan ia dengar. 2 tahun baginya
adalah waktu yg singkat sejak lamaran andri ditolaknya. 2 tahun juga bukan waktu
yg singkat bagi seseorg utk menghafal alquran. Tapi kini andri datang
melamarnya dengan hafalan alqurannya...??
“Yaa Allah, mukjizat apa yg KAU tunjukkan dihadapanku ini..?” batin Tari
dalam hati.
Tapi ketika sekilas ia beranikan menatap paras andri dan kesriusannya, entah
kekuatan dari mana yg masuk kedalam hatinya bahwa ia justru yakin
seyakin-yakinnya andri-lah kini yg memang ditakdirkan Allah untuknya. Tapi dia
bukan andri yang dulu, melainkan andri yg telah berubah menjadi sosok pemuda yg
taat kepada Rabbnya.
Sore itu, sehabis sholat asar berjamaah di rumah Tari.. dia, ayahnya dan
ibunya, menyimak setiap bait-bait lantunan ayat2 suci dari kitab cintaNya yg
dilantunkan dari mulut andri dengan begitu indahnya. Subhanallah..andri
benar-benar hafidz Qur’an. Allahu Akbar..tak henti2nya Tari dan keluarga
mengucap kebesaran nama Ilahi.
Sore itu juga, lamaran andri diterima kedua orang tua Tari, dan Tari
menerima kitbah andri dengan segala keiklasan dan kemantapan hati. Dan satu
bulan berikutnya acara walimahan pernikahan antara Tari dan Andri mengejutkan
sahabat2nya seperti Wida, Nana, mbak Zaenab, mbak santi dan mbak rahma pun tak
ketinggalan dibikin surprise dengan berita pernikahan Tari.
Barakallahu laka wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fi khoiriin…
-- Yaa Allah, aku meminta berikan aku hati yg sungguh2 mencintaiMU,
berikan aku tangan yg dengannya aku mampu berdoa untuknya, dan bila akhirnya
kita bersatu.. kuharap kami berdua dapat mengatakan betapa “Maha Besarnya
ENGKAU” ,karena telah memberikan padaku mutiara berharga yg akan menyempurnakan
separuh agamaku dan memenuhi sunah RasulMU --
Pesan yg ingin saya sampaikan cukup 1 kalimat : SABAR ITU BUAHNYA
MANIS !
http://romdani45498.blogspot.com/2011/01/anugrah-cinta-untuk-mentari.html