Mengenai Saya

Foto saya
Pangandaran, West Java, Indonesia
Simple

Rabu, 07 Maret 2012

Meredam Rasa tersinggung

Salah satu hal yang sering membuat energi kita terkuras adalah timbulnya rasa ketersinggungan diri.


Munculnya perasaan ini sering disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain. Ketika tersinggung, minimal kita akan sibuk membela diri dan selanjutnya akan memikirkan kejelekan orang lain. Hal yang paling membahayakan dari ketersinggungan adalah habisnya amal kita. Efek yang biasa ditimbulkan oleh rasa tersinggung adalah kemarahan. Jika kita marah, kata-kata jadi tidak terkendali, stress meningkat, dan lainnya. Karena itu, kegigihan kita untuk tidak tersinggung menjadi suatu keharusan.
Apa yang menyebabkan orang tersinggung? Ketersinggungan seseorang timbul karena menilai dirinya lebih dari kenyataan, merasa pintar, berjasa, saleh, tampan, dan merasa sukses. Setiap kali kita menilai diri lebih dari kenyataan bila ada yang menilai kita kurang sedikit saja akan langsung tersinggung. Peluang tersinggung akan terbuka jika kita salah dalam menilai diri sendiri. Karena itu, ada sesuatu yang harus kita perbaiki, yaitu proporsional menilai diri. Teknik pertama agar kita tidak mudah tersinggung adalah tidak menilai lebih kepada diri kita. Misalnya, jangan banyak mengingat-ingat bahwa saya telah berjasa, saya seorang guru, saya seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat. Semakin banyak kita mengaku-ngaku tentang diri kita, akan membuat kita makin tersinggung. Ada beberapa cara yang cukup efektif untuk meredam ketersinggungan. Pertama, belajar melupakan. Jika kita seorang sarjana maka lupakanlah kesarjanaan kita. Jika kita seorang direktur lupakanlah jabatan itu. Jika kita ustadz lupakan keustadzan kita.
Jika kita seorang pimpinan lupakanlah hal itu, dan seterusnya. Anggap semuanya ini amanah agar kita tidak tamak terhadap penghargaan. Kita harus melatih diri untuk merasa sekadar hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali ilmu yang dipercikkan oleh Allah sedikit. Kita lebih banyak tidak tahu. Kita tidak mempunyai harta sedikit pun kecuali sepercik titipan Allah. Kita tidak mempunyai jabatan ataupun kedudukan sedikit pun kecuali sepercik yang Allah amanahkan. Dengan sikap seperti ini hidup kita akan lebih ringan. Semakin kita ingin dihargai, dipuji, dan dihormati, akan kian sering kita sakit hati. Kedua, kita harus melihat bahwa apa pun yang dilakukan orang kepada kita akan bermanfaat jika kita dapat menyikapinya dengan tepat. Kita tidak akan pernah rugi dengan perilaku orang kepada kita, jika bisa menyikapinya dengan tepat.
Kita akan merugi apabila salah menyikapi kejadian, dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah memaksa diri sendiri menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita. Apa pun perkataan orang lain kepada kita, tentu itu terjadi dengan izin Allah. Anggap saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji′uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157).


Ketiga, kita harus berempati.Yaitu, mulai melihat sesuatu tidak dari sisi kita. Perhatikan kisah seseorang yang tengah menuntun gajah dari depan dan seorang lagi mengikutinya di belakang Gajah tersebut. Yang di depan berkata, "Oh indah nian pemandangan sepanjang hari". Kontan ia dilempar dari belakang karena dianggap menyindir. Sebab, sepanjang perjalanan, orang yang di belakang hanya melihat pantat gajah. Karena itu, kita harus belajar berempati. Jika tidak ingin mudah tersinggung, cari seribu satu alasan untuk bisa memaklumi orang lain. Namun yang harus diingat, berbagai alasan yang kita buat semata-mata untuk memaklumi, bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita dapat mengendalikan diri. Keempat, jadikan penghinaan orang lain kepada kita sebagai ladang peningkatan kwalitas diri dan kesempatan untuk mengamalkan sifat mulia. Yaitu, memaafkan orang yang menyakiti dan membalasnya dengan kebaikan.




http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/meredam-rasa-tersinggung.html

Jika Aku Mati

Alhamdulillah, sampai detik ini masih diberi kesempatan untuk mereguk udara yang ada, terfikir andaikan pagi ini jasadku sudah menjadi seonggok mayat yang tak bernyawa? --tears--
Ok lah, nggak ada niatan nulis panjang lebar sih, cuma pingin berbagi kisahku beberapa waktu lalu ini sedikit saja ketika sehari setelah aku sakit dan dirawat di RS.
Yaa...waktu itu aku lagi seriiiing banget ketakutan, sering berfikir apa jadinya kalau Qodarullah berkata bahwa saatku 'dijemput' itu tinggal sebentar lagi?
Hari rabu waktu itu, jam 2 pagi kebangun dengan keadaan badan yang emang kerasa gak cukup baik. Walaupun ngantuk gencar menyerang, ku paksakan untuk bangun dan melangkah turun ke lantai 1 untuk ngambil wudhu, terus sholat tahajjud. Jam 3 lewat dikit udah kelar, badan kerasa emang kurang baik, aku pun memutuskan untuk tidur lagi, berpikir semoga ntar pas shubuh udah enakan.
Trus bangun, sholat shubuh, bukannya makin baik, aku ngerasa badanku agak anget, yawiss lah, aku langsung bilang ama Ibu izin hari ini gak bisa bantuin didapur, dan pergi tidur lagi karena mata emang beraaaatttt.. Sekitar jam setengah 7-an baru bangun lagi dan langsung pergi mandi, badanku masih ngerasa anget gimana gitu... Waktu itu ibu dan ayah sudah berangkat bekerja. Jadilah aku cuma berdua ama adik di rumah. Lalu jam setengah 9-an kupaksakan badanku untuk sholat dhuha, pas udah kelar mencoba untuk tilawah walau hanya beberapa lembar. Nah, pas buka halaman tilawah, mataku passs banget langsung ngeliat ayat ini:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الأنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الأخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang)


yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (Az-zumar : 42)
Apa yang ku rasa pas baca ayat itu? Subhanallah.. merinding luar biasa. Mataku langsung berlinangan.. Ya ALLAH.. Bener deh, sekarang tuh seriiiing banget kepikiran kalau waktuku untuk kembali kepada ALLAH sebentar lagi, trus gimana? Apalagi saat itu aku inget keadaanku yg kebetulan juga lagi gak nyaman banget, badan panas, pusing, dan lemas. Aku berusaha menenangkan diri dan membaca Al-Qur'an dengan masih berlinangan air mata, di surat Al-Mu'min ayat 33 aku berhenti. Diam sejenak, dan aku menangis...
Banyak pikiran yang berkecamuk dalam benakku saat itu:
Dalam keadaan apa aku mati?
Di mana?
Apakah aku termasuk orang yang beruntung ataukah merugi?
Yang selamat atau yang celaka?
Di dalam kubur nanti seperti apa ketika aku ditanya oleh malaikat munkar nakir?
Apakah aku yang sempit lagi gelap kuburnya atau yang terang dan lapang?
Bagaimana di akhirat nanti?
Apakah yang mendapat syafa'at atau yang teracuhkan?
Surga kah untukku atau kekal dalam nerakanya?
Lalu bagaimana dengan Ayah, Ibu, Adikku, dan suamiku..?
Keluargaku, Saudaraku, Guru, Teman?
Hiks.. macem-macem perasaan berkecamuk dikepalaku saat itu, dan aku hanya bisa menangisi dosa-dosa yang telah ku perbuat, semoga ALLAH berkenan mengampuni, ampuni aku Yaa Ghoffar...
Udah puas nangis, aku pun langsung turun ke lantai bawah. Jam 12-an mbak pulang dan aku cuma sendirian di rumah, dan sampai sore aku terus menunggu, ya menunggu, apakah waktuku dijemput adalah hari itu.


Berkali-kali mataku berlinang, berkali-kali aku berusaha menghilangkan rasa takut, pikirku dalam hati, "Kalau sudah waktunya mati, ya mati..!", tapi tetap saja rasa takut itu datang menyergap. Kalau udah ketakutan suhu tubuhku langsung meningkat, keringat bercucuran, pas udah agak tenang aku merasa baikan, tapi kemudian merasa takut kembali begitu seterusnya. Berkali-kali pula aku nelpon Ibu menanyakan kapan beliau pulang, sendiri benar-benar suatu keadaan yang tidak mengenakkan!
Sore Ibu pulang, dan aku merasa sedikit lega, walaupun perasaan takut itu masih ada, sangat ada. Sampai aku nggak menyadari bahwa pukul 5 sore tuh ada gempa Cuma beberapa detik tapi cukup terasa! Ibuku pun demikian. Orang-orang pada heboh mengatakan tadi ada gempa, sedangkan aku sendiri nggak merasa apapun, saat itu aku sedang berada di atas sofa, aku inget banget.
Malam datang, aku masih juga merasa tak tenang, kapan waktunya? Aku sholu maghrib, kemudian menunggu lagi. Datang waktu 'isya aku langsung bergegas dan segera sholat. Masih terus berkecamuk akan mati akan mati akan mati dalam diri ini, wajahku pucat bisa kulihat itu. Kakiku terasa dingin aku menggerakannya, masih bisa bergerak alhamdulillah.. Aku nggak mau jauh-jauh dari Ayah Ibu tapi tak juga bisa mengatakan apa yang sedang ku rasakan. Ayah nyuruh aku tidur ama Ibu di kamarnya, aku menurut, jam 9-an aku pun terlelap, dan pagi ini, alhamdulillah.. masih diberi umur untuk bisa menjalani hari...
Huff, sedih banget, belum pernah aku setakut ini. Dan hari ini ku goreskan dalam hati, jangan takut dengan matinya, tapi takut sama ALLAH ! T_T
Barusan banget ngeliat ada acara lintas berita di TV seorang artis yang mengatakan pengalamannya pas gempa kemarin, dia mengatakan bahwa merasa gempa ketika akan show,  dia bilang bahwa ketika gempa kemarin dia tenang aja karena dia yakin kalau sudah waktunya mati ya mati. Dan dia berkata bahwa akan begitu bahagia bila mati ketika sedang berada di atas panggung! Na'udzhubillahi min dzalik...
Aku berfikir, memang dia pikir mati ya mati aja, udah, selesai, tanpa tau bahwa sesudah mati itulah ada perjalanan yang sesungguhnya, hidup yang sesungguhnya, yang kekal! Astaghfirullah...
Sedangkan aku berfikir aku ingin sekali meninggal dalam keadaan yang baik, husnul khotimah, di tempat yang baik, dengan cara yang baik, dan Ayah Ibu yang ridho dengan anaknya ini, menghembuskan nafas terakhir dengan mengucapkan kata Laa Ilaha Ilallah... Hiks... aamiin Yaa ALLAH.. aamiin... T_T
Jalani tiap detik dengan baik mungkin, jangan pernah disiakan, bila sudah saatnya kita untuk kembali, ya itulah saatnya, dan ALLAH sudah tuntas menentukan semuanya..


Aku hanya bisa berdo'a, Yaa ALLAH panjangkanlah umur kami lagi berkahilah ia, matikan kami semua dalam keadaan husnul khotimah, allahumma aamiin...
Dari Anas Ibn Malik radiallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang suka diluaskan rezeki dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi." ( HR.Bukhari-- )




http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/jika-aku-mati.html

Bisanya Cuma Nyontek

Miris hati ini..miris dan ingin menangis jika melihat realita anak muda sekarang. Ketika seminggu lalu saya sedang berada di sebuah Pusat perbelanjaan Toko Buku Gramedia di Jogya.
Perhatikanlah..! remaja-remaja yang "mejeng" di mall-mall, pinggir-pinggir jalan atau di pusat-pusat hiburan, maka kita akan melihat pemandangan yang sangat mengherankan. Yang laki-laki kepalanya botak sebelah, rambutnya dicat, pakai anting-anting, kalung, rantai besar yg menggantung di celananya, bibir dan hidungnya ditindik jarum, dan lain sebagainya.
Wanitanya pun tak mau kalah, mereka tidak malu lagi dengan pakaian ketat yang kelihatan pusarnya, roj mini dengan kaos you can see, dan potongan rambut yang tidak karuan. ini semua akibat termakan oleh propaganda yang datang dari negeri barat yang didominasi oleh Yahudi dan Nashrani. Janganlah heran jika lambat laun mode Yahudi dan Nashrani yang menjadi panutan anak muda sekarang.
Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim " . ( QS.Al Maidah :51 )
Namun ironisnya, sebagian besar remaja kita bangga dengan hal tersebut. mereka bangga dengan pakaian ala barat yang dikenakannya; mereka bangga jika dapat meniru model rambut mereka, mereka bangga jika dapat meniru gaya bicara mereka. Padahal Rasulullah saw telah mengancam: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud )
Imam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, "Hadits ini serendah-rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)".
Jadi, tingkatannya sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru orang-orang kafir. jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama dengan pihak yang ditirunya.
Perbuatan menyimpang seperti ini merupakan hal yang bersifat naluri, karena setan menampakkan perbuatan ini di hadapan pelakunya sebagai perbuatan baik. Oleh karena itu, para hamba Allah diperintahkan untuk terus memohon kepada Allah agar diberi keteguhan hati berada dalam hidayah-Nya, sehingga tidak bersikap seperti kaum Yahudi dan Nashrani.
saudaraku..,Ketahuilah! tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk menyelisihi orang-orang non-muslim. Ini merupakan suatu cara untuk menampakkan Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits berikut:
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“potonglah kumis kalian dan peliharah jenggot kalian; berbedalah kalian dari golongan Majusi (penyembah api)” [HR. Muslim dalam shohih-nya (260)
Hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang selaras dengan bagian awalnya, karena perintah menyelisihi orang-orang majusi ialah dengan memotong kumis. Sebab itu merupakan ciri khas mereka yaitu memanjangkan kumis dan memotong jenggot. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan kita agar menyelisihi mereka.
“Biarkanlah jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657). 
Penyerupaan dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya
”Kalian harus menyelisihi kaum yahudi karena mereka tidak mau shalat dengan memakai sandal ataupun terompah mereka” . (HR. Abu Dawud )
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa golongan Ahli Kitab adalah makan sahur”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1096)
Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa sahur merupakan ciri khas ummat ini (Islam). Diantara perkara yang diberi keringanan di dalamnya, yaitu makan sahur".
Ini semua menunjukkan bahwasanya menyelisihi orang-orang kafir adalah tujuan pokok syariat. Namun sangat disayangkan, karena jauhnya umat Islam dari agamanya dan enggannya mereka mempelajari agamanya, semua ini menyebabkan mereka terjatuh di dalam kesalahan ini yaitu meniru kaum kafir mulai dari pakaian,
dan cara berpakaian, tradisi, adat, bahasa, perayaan hari raya, dan hari-hari peringatan mereka seperti Hari Valentine, Hari Haloween, dan lain-lain. Sehingga Islam tinggallah sebuah nama.
Mengaku muslim, namun pakaiannya serba ketat, bahkan nyaris telanjang. Tidak ada lagi ciri-ciri keislaman pada dirinya, sehingga kita sulit membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir; sama-sama tidak memakai jilbab. Kalaupun pakai, yah asal-asalan saja, tanpa memenuhi standar. Padahal jilbab yang sayr’i adalah jilbab yang menutupi seluruh tubuh, tebal (tidak transparan), longgar (tidak ketat sehingga membentuk lekuk tubuh), tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan laki-laki.
Begitulah realita umat ini, mereka mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani, sejengkal demi sejengkal hingga andai mereka masuk ke lubang biawak pun, niscaya umat Islam akan mengikutinya. Rasulullah Saw  telah lama memperingatkan tentang bahaya mengikuti jalan, dan gaya hidup mereka:
”Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nashara? Maka beliau menjawab:” Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”.[HR. Bukhari dalam Shohih-nya (3269 & 6889), Muslim dalam Shohih-nya (2669)
“Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya. sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”. lalu ada yang bertanya : “wahai Rasulullah apakah seperti bangsa persia dan Rumawi? beliau menjawab: “manusia siapa lagi kalau bukan mereka”.[HR. Bukhariy (6888) dalam Shohih-nya, dan Ahmad dalam Al-Musnad (8414)]
Saudaraku..bukankah sudah jelas disini Nabi kita memberitahukan bahwa di tengah-tengah umatnya akan ada orang-orang yang meniru perilaku kaum yahudi dan nasrani, dan ada juga yang meniru bangsa Persia dan Romawi. Hal tersebut telah menjadi kenyataan pada hari ini. Lihatlah ketika orang-orang Nashrani merayakan tahun baru mereka, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan tahun baru hijriyah atau tahun baru Masehi itu sendiri dengan acara2 yg kadang jauh dari syari. Ketika orang Nashrani merayakan kenaikan Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan Isra’ dan Mi’raj. Ketika orang Nashrani merayakan hari lahirnya Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan lain-lain.
Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan mereka untuk merayakan hari-hari itu; tidak ada satu ayat pun atau hadits shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya memperingati hari-hari tersebut. Para sahabat pun tidak pernah mencontohkan hal itu. Apakah mereka (yang merayakan perayaan-perayaan ini) merasa lebih baik dan lebih alim daripada Rasulullah dan para sahabatnya?
Sehingga ada suatu kebaikan yang luput dari Rasulullah Saw yang tidak disampaikan oleh beliau kepada umatnya.
Padahal Nabi kita bersabda:
“Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya suatu kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umatnya dari kajelekan yang dia ketahui untuk mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1844).
Tragisnya lagi, jika umat ini mengikuti yahudi dan nashrani dalam perkara yang berkaitan dengan aqidah, seperti menjadikan kubur-kubur sebagai masjid. Nabi memperingatkan dengan keras kepada umatnya agar jangan menjadikan kubur sebagai masjid. sebagaimana yang banyak diterangkan dalam hadits.
Kalau orang yang menjadikan kubur para nabi sebagai masjid saja diancam sedemikian keras, bagaimana lagi kalau yang dijadikan masjid adalah kubur orang yang dianggap wali atau orang shalih lainnya? bagaimana pula dengan kuburnya tokoh-tokoh tertentu yang tidak diketahui asal-usulnya, apakah mereka orang shalih atau tidak?
Semoga tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin sehingga berhati-hati untuk tidak mengekor kepada orang-orang kafir dalam segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, ucapan maupun perbuatan sehingga kita tidak termasuk orang-orang diancam oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam firman-Nya,
 "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS. An-Nisa :115) 



http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/bisanya-cuma-nyontek.html

Kisah Keluarga Tikus,,,

Ini bukan tentang keluarga Stuart Little, ini tentang sebuah keluarga tikus dengan 8 anaknya yang masih belajar mencari makanan. Kebetulan ini adalah keluarga tikus rumahan, yang mencari makanan dari sisa-sisa makanan manusia. Ada dua anak tikus si belang dan si putih menemukan sepotong keju. Namun ada pertanyaan besar bagi kedua anak tikus tersebut, sehingga mereka ragu mengambil keju tersebut.
Apa yang membuat mereka ragu? Sebab keju tersebut tidak terletak di lemari. Padahal mereka biasa mencuri makanan dari lemari.
“Jangan-jangan, keju itu busuk dan dibuang.” kata si putih.
“Tidak, meski dari kejauhan saya mencium kalau keju itu masih segar. Pasti enak.” kata si belang.
“Tapi, warnanya kusam.” bantah di putih.
“Bukan warna yang menentukan, tetapi aromanya.” kata si belang.
“Ya sudah, kita ambil saja!” kata si putih.
“Boleh, tapi ukurannya kecil. Paling cukup untuk kita berdua.” kata si belang.
“Bukankah kata ayah, kita harus berbagi. Kita masih punya 6 saudara.” kata si putih.
“Tapi percuma dibagi-bagi, nanti kebagian sedikit.” kata si belang.
“Cukuplah, tidak kecil-kecil banget. Kita semua bisa kenyang.” kata si putih.
“Iya sih, kalau untuk sekali makan akan kenyang. Tapi untuk 3 kali, terasa kurang.” kata di belang.
Ternyata, ayah mereka mendengar pembicaraan kedua anaknya ini.
“Anak-anaku, apa yang kalian bicarakan adalah benar. Tetapi tidak benar seutuhnya.” sela ayahnya.
“Apa maksud ayah?” kata si putih.
“Kalian terlalu fokus pada kejunya. Kalian harus melihat masalah dengan pandangan yang lain. Ini menyangkut hidup mati kalian.” jelas ayahnya. Tapi kedua anaknya yang belum pengalaman, malah heran dan kebingungan.
“Saya tidak mengerti, ayah.” kata si belang mengernyitkan dahinya.
“OK, tunjukan dimana kalian menemukan keju tersebut.” kata ayahnya.
Kedua anak tikus tersebut mengantar ayahnya menuju letak keju.
“Apa yang kalian lihat?” tanya ayahnya menguji pandangan anak-anaknya.
“Keju, ayah!” jawab kedua anaknya serempak.
“Coba lihat lagi!” kata ayahnya sambil tersenyum. Kedua anaknya memperhatikan keju dengan seksama, tetapi mereka tetap bingung karena tidak ada yang aneh. Melihatnya anaknya kebingungan, ayah mengajak naik ke sebuah meja.
“Nah, sekarang lihat diatas meja ini. Apa yang kalian lihat?” tanya ayahnya.
“Saya melihat sebuah alat dimana ada keju di dalamnya.” jawab si putih.
“Oh iya, baru terlihat.” lanjut si belang. “Alat apa itu ayah?” tanya si belang.
“Itu adalah pertanyaan yang bagus. Kalian sudah tidak terfokus pada kejunya lagi, tetapi pada sistem yang lebih besar. Pertanyaan kalian ini akan menyelamatkan hidup kalian. Alat itu adalah perangkap. Jika kalian mengambil kejunya, ada senjata yang akan membunuh kalian.” jelas ayahnya.
Terang saja, kedua anak tikus ini terperanjat. Kaget bukan kepalang. Tidak terpikirkan sebelumnya. Mereka hanya fokus pada keju.
“Jika kalian melihat secara utuh, pertanyaan kalian akan benar dan akan menyelamatkan kalian. Jangan fokus pada pandangan sempit dan mengambil keputusan dari pandangan tersebut. Dari perbedaan cara pandang ini, bisa menentukan hidup matinya kalian.” jelas ayahnya dengan tatapan kasih kepada kedua anaknya.
NB; dari cerita diatas,,,kita bisa mengambil hikmah,,Janganlah kita melihat sesuatu dari keindahan nya semata,,,berhati hatilah menentukan sikap,,,Jangan terkena tipu daya dengan mudah,,,
..semoga cukup membantu anda smua,,,,
 
 

Permohonan Si Miskin Dan Si Kaya

Nabi Musa AS memiliki ummat yang jumlahnya sangat banyak dan umur mereka panjang-panjang. Mereka ada yang kaya danjuga ada yang miskin. Suatu hari ada seorang yang miskin datang menghadap Nabi Musa AS. Ia begitu miskinnya pakaiannya compang-camping dan sangat lusuh berdebu.
Si miskin itu kemudian berkata kepada Baginda Musa AS, "Ya Nabiullah, Kalamullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar Allah SWT menjadikan aku orang yang kaya.


Nabi Musa AS tersenyum dan berkata kepada orang itu, "saudaraku, banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah SWT. Si miskin itu agak terkejut dan kesal, lalu ia berkata, Bagaimana aku mau banyak bersyukur, aku makan pun jarang, dan pakaian yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini saja"!. Akhirnya si miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya. Beberapa waktu kemudian seorang kaya datang menghadap Nabi Musa AS. Orang tersebut bersih badannya juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada Nabi Musa AS, "Wahai Nabiullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar dijadikannya aku ini seorang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu. Nabi Musa AS pun tersenyum, lalu ia berkata, "wahai saudaraku, janganlah kamu bersyukur kepada Allah SWT. Ya Nabiullah, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Alah SWT?. Allah SWT telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. Telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah SWT telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya", jawab si kaya itu. Akhirnya si kaya itu pun pulang ke rumahnya. Kemudian terjadi adalah si kaya itu semakin Allah SWT tambah kekayaannya karena ia selalu bersyukur. Dan si miskin menjadi bertambah miskin. Allah SWT mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga si miskin itu tidak memiliki selembar pakaianpun yang melekat di tubuhnya. Ini semua karena ia tidak mau bersyukur kepada Allah SWT. 


http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/permohonan-si-miskin-dan-si-kaya.html

Menggapai ketentraman dan hidayah (2)

MENGOBATI PENYAKIT HATI DENGAN AL QUR’AN


Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.

PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya.

Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”

NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Di antara hidayah teragung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat yang baik dan pemahaman yang benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’lamul Muwaqqi’in, I/87)
Dengan demikian, petunjuk dari Allah adalah nikmat agung yang harus disyukuri. Ibnul Qayyim mengatakan, “Besarnya nikmat yang diperoleh hamba tergantung kadar hidayah yang didapatkannya…”

TAUFIK DI TANGAN ALLAH
Apa yang bisa kita perbuat tanpa petunjuk dan taufik dari Allah? Tidak ada! Oleh sebab itu sadarilah hal itu. Semuanya ada di tangan Allah. Kita tidak menguasai apa-apa barang sedikitpun. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi.


Ketika itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman dari-Nya maka sudah semestinya kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya untuk menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”
Beliau melanjutkan, “Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri, dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al khudzlan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”

SYARAT MERAIH KEAMANAN DAN HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna,


“Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercajup dalam syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai suatu kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, pent). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan keterangannya, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti orang yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna.


Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash al-Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.”
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah “mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” Dan semakin kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya, maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.

ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS
Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman.


Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.
Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)

PENUTUP



Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik, bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.

Allahumma inna nas’alukal huda wat tuqa wal ‘afaafa wal ghina.
Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik, Ya Musharrifal qulub sharrif qalbi ila thaa’atik.
Allahumma ‘allimna ma yanfa’una, wanfa’na bima ‘allamtana, wa zidna ‘ilma.
Allahuma inni a’udzubika min ‘ilmin la yanfa’ wa min qalbin la yakhsya’ wa min nafsin la tasyba’ wa min da’watin la yustajabu laha.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid dien. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.


http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/menggapai-ketentraman-dan-hidayah-2.html

Menggapai Ketentraman Dan Hidayah (1)

Ketentraman dan hidayah… Keduanya adalah mata air kebahagiaan.
Dengan ketentraman seorang hamba akan terbebas dari cekaman rasa takut dan kesedihan. Dan dengan hidayah maka seorang hamba akan mengetahui dan menemukan jalan keluar bagi berbagai macam persoalan.
Lebih dari itu semua, sesungguhnya puncak kebahagiaan seorang yang bertauhid terletak pada keduanya. Petunjuk di dunia dan keamanan yang hakiki di akherat kelak. Itulah dua buah perkara yang sangat diambakan oleh setiap insan.

URGENSI KETENTRAMAN DAN KEAMANAN
Ketentraman dan rasa aman sangat diperlukan oleh umat manusia. Sebaliknya, cekaman rasa takut membuat hidup mereka tidak nyaman. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah meminta keamanan sebelum memohon agar dijauhkan dari praktek-praktek kesyirikan sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman,


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, ‘Rabbku. Jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada patung.’.” (QS. Ibrahim [14]: 35)
Asy Syaukani mengatakan, “Pengajuan permintaan keamanan sebelum semua permintaan yang disebutkan sesudahnya dikarenakan apabila rasa aman sudah hilang, maka tidak tersisa lagi kesempatan baginya untuk mengurusi hal-hal yang lain, baik yang menyangkut urusan agama maupun urusan keduniaan.” (Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Masih segar dalam ingatan kita, rumah-rumah yang hancur akibat gempa Jogja beberapa waktu yang silam. Masih terngiang-ngiang di telinga, isak tangis anak-anak kecil yang kehilangan orang tua, sanak saudara, dan rumah satu-satunya. Hari-hari yang diwarnai dengan rintihan kesakitan para korban gempa. Masih terbayang-bayang di mata, kaki-kaki dan tangan-tangan yang patah dan berlumuran darah. Masih melekat dalam benak kita, bagaimana manusia berlarian demi menyelamatkan dirinya. Pada hari itu, rasa aman telah hilang dan berganti dengan ketakutan yang mencekam. Pada saat seperti itu, tidak ada lagi yang mereka pikirkan kecuali bagaimana bisa mengamankan jiwanya dari ancaman kematian!)

PENTINGNYA HIDAYAH
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
“Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini.


Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini pun menjadi salah satu senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.”
 “Adapun pertanyaan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat yang bersamaan. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan yang lurus.”
“Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara juz’iyaat yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka.”
 “Pada asalnya manusia itu tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci,


dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberi atau tidak memberi kepada orang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga. Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya membutuhkan ilmu yang bisa menyingkap kejahilannya dan sikap adil yang dapat menyingkirkan sifat zalimnya. Apabila Allah tidak menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa sifat bodoh dan zalim yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.
Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’atur Ridwan,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2)
Kalau keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau ?” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.

DUA MACAM HIDAYAH
Hidayah itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.
Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”

BERJALAN MENUJU DAN DI ATAS JALAN YANG LURUS
Setelah mengemukakan bahwa hidayah yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ ada 2: ila shirath (menuju jalan yang lurus) dan fi shirath (di atas jalan yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan,


“Hidayah ‘ila shirath’ yaitu berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang lain. Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai semua rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka doa ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam setiap raka’at shalatnya dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya terhadap hal itu.”

HAKEKAT JALAN YANG LURUS
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
Syaikhul Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)

MENYIRAMI HATI DENGAN HIDAYAH AL QUR’AN
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.” (QS. Al-Israa’ [17]: 9)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus.


Maka dari itu sudah semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman, ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya.
Dengan cara inilah mereka bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan Syaikh As Sa’di.

-bersambung insya Allah-


http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/menggapai-ketentraman-dan-hidayah-1.html

Selalu ada jalan keluar...

Pernahkan Anda mengalami seperti masuk ke dalam sebuah jalan buntu. Bingung mau melakukan apa? Bingung kemana arah langkah kita selanjutnya? Saya pernah mengalami dan ternyata banyak orang lain pun yang mengalami hal sama. Jika Anda pernah mengalami, bahkan sedang mengalami, dan kemungkinan akan mengalami suatu saat, tenang saja. Anda tidak sendiri. Saya akan jelaskan bagaimana mengatasinya.
Saya bukan orang segala bisa, memang siapa yang segala bisa? Kebingungan bisa menghampiri siapa pun, ada yang bingung mau makan apa hari ini ada juga yang bingung bagaimana membayar cicilan mobil bulan ini. Ada yang bingung membayar utang, ada juga yang bingung mau investasi kemana. Semua orang mengalami kebingungan, hanya saja pada level dan aspek yang berbeda.
Lalu bagaimana mengatasinya?
  • Tenang saja, jangan panik. Meskipun buru-buru, dengan panik justru akan memperburuk keadaan.
  • Berdo’alah dengan seyakin-yakinnya untuk meminta solusi kepada Allah.
  • Berikhtiarlah sedapat mungkin untuk menjemput solusi yang sudah kita minta kepada Allah.
“Iya… ikhtiar. Tapi bagaimana? Saya bingung.”
Ada dua ikhtiar yang selalu bisa Anda lakukan. Yaitu bertanya dan minta tolong. Mulailah dari orang-orang terdekat. Anda pasti banyak saudara, banyak teman, bahkan sahabat. Dari pengalaman saya, solusi sering datang dari orang-orang terdekat. Mulailah dari mereka, jika Anda meminta bantuan atau bertanya dengan baik, mereka atau sebagian mereka akan berusaha membantu.
Jika tidak bisa, teruslah bertanya. Misalnya, jika orang terdekat Anda berkata “Maaf, saya tidak bisa membantu.” Jangan dulu menyerah. Tanyakan saja: “Siapa (lagi) yang bisa membantu saya?” Dengan demikian, Anda tidak akan pernah kehabisan sumber bantuan. Prinsip referal, bukan hanya digunakan saat menjual, saat meminta bantuan pun akan sangat berguna. Prinsipnya: “Jika teman Anda tidak bisa, mungkin teman dari teman Anda ada yang bisa”. Jangan mudah menyerah.
Saya sering mendapatkan email, SMS, atau YM dari orang yang meminta bantuan. Saya coba untuk membantu sebisa mungkin. Saat saya mencoba memberikan solusi, seringkali mereka mengatakan “tapi”.
Saya sering menemukan, bahwa mereka bukannya mencari solusi, tetapi mencari pembenaran bahwa mereka sedang terpuruk dan tidak ada jalan keluar.
Jika Anda serius mencari solusi, jangan mengatakan “tapi” saat ada solusi. Meskipun solusi tersebut terlihat tidak mungkin. Cobalah untuk berpikir terbuka, sebab seringkali bukan tidak ada solusi, tetapi orang sering menutup pikirannya untuk solusi. Daripada mengatakan “tapi”, tanyakan saja, “Bagaimana caranya?”. Bisa jadi apa yang sebelumnya terlihat mustahil, berubah menjadi hal mudah setelah tahu caranya.
Jadi, tenang, berdo’a, dan carilah solusi diiringi pikiran yang terbuka akan solusi. Kadang, solusi datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Bisa jadi solusi datang dari orang yang tidak Anda kenal sama sekali. Yakinlah akan pertolongan Allah. Selalu ada jalan keluar.
 
 

Menabur Kedzaliman .. Menuai Kegelapan

Banyak diantara kita yang yang menyadari kalau telah berbuat zalim kepada orang lain. Cuek saja, masa bodoh tanpa mau meminta maaf kepadanya.
Sebabnya memang banyak, diantaranya karena ego yang terlalu tinggi, menyepelekan, dan kurang memahami ajaran agama. PAdahal perbuatan yang demikian sangat berbahaya dan akan dipertangung jawabnkan dihari akhirat.Bentuk kezaliman banyak, dan secara singkat definisinya adalah "Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya", Syirik termasuk dalam kategori zalim. bahkan merupakan zalim yang besar.
Inilah zalim yang dimaksud dalam firman Allah,"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Al-An'am:82)
PAda sahabat, secara spontan begitu ayat tersebut turun dan sebelum mengetahu makna dari 'kezaliman' yang sebenarnya bertanya, "Wahai Rasulullah!Siapa gerangan diantara kita yang tidak berbuat zalim kepada dirinya?" Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam meluruskan pemahaman mereka dengan menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firmanNya yang lain
"Sngguh syirik itu merupakan kezaliman yang besar" (Luqman:13)
Jelas, bahwa syirik merupakan kezaliman.Bentuk zalim yang lain lagi adalah yang berhubungan dengan manusia. Tentu saja tidak ada orang yang lepas dari zalim jenis ini. MAka hendaknya orang yang zalim segera meminta maaf kepada yang bersangkutan dan memintanya menghalalkan atas semua yang telah terjadi selagi belum berpisah tempat dan sulitbertemu kembali dengannya serta selama masih di dunia.Kezaliman terhadap sesama makhluq ini memang berat resikonya. Syarat taubat dari berbuat doasa diantara hamba ini adalah dengan meminta penghalang atas kezaliman yang telah dilakukan.

DEFINISI KEZALIMAN
Kata Azh-Zhulm berasal dari fi'il Zhalama-yazhlimu yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya dan hal ini sepadan dengan kata al-Jawr.
Demikian juga definisi yang dinukil oleh Syeikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari kata al-'Adl (keadilan). Ancaman perbuatan zalim memang mengerikan diantaranya yang disampaikan oleh Umar Radhiallahu anhu, Dia berkata, RAsulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda:


"Kezaliman adalah kegelapan (yang berlipat) dihari kiamat" (muttafaq 'alaihi)
RAsulullah pernah bersabda,
"Berhati-hatilah terhadap kezaliman, sebab kezaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari kiamat. Dan jauhilah kebathilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat sebelum kamu" (HR. Muslim)
Hadits diatas dan semisal merupakan dalil atas keharaman perbuatan zalim, yang paling besar adalah syirik kepada Allah. Diadalam hadits qudsi, Allah berfirman
"Wahai hamba-hambaKu! Sesungguhnya aku mengharamkan kezaliman terhadap diriKu dan menjadikannya diharamkan antara kalian"
Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan manusia dari perbuatan zalim, memerintahkan agar mereka menjauhinya dan menghindarinya karena akibatnya amat berbahaya. IA akan menjadi kegelapan yang belipat dihari Kiamat kelak.Dihari itu, kaum mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar keimanan, sembari berkata,"Wahai Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami". Sedang orang-orang yang berbuat zalim terhadap Rabb mereka dengan pebuatan Syirik, terhadap diri mereka dengan pebuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak sewenang-wenang terhadap darah, harta dan kehormatan mereka; maka mereka itu akan berjalan ditengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat melihat arah jalan sama sekali.

PENYEBAB TERJADINYA
Ibnu al-Jauzy mengatakan, "Kezaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil milik orang lain tanpa hak dan menentang Rabb dengan melanggar ajaranNya..
Ia juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil a'tibar(pelajaran) "Barangkali penyebabnya juga dapat dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan karena kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama sehingga ia tidak mengetahui bahwa:
1. Hal ini amat dilarang bahkan diharamkan.
2. Ketidakadilan menyebabkan adanya pihak yang terzalimi



3. Orangyang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya.
4. Orang yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas atas apa yang dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.
5. Orang yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana mencatuhkan harga diri seseorang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun.

TERAPINYA
Diantara terapinya -Wallahu a'lam- adalah:
1. Mencari sebab hidayah sehingga hatinya tidak gelap lagi dan mudah mengambil pelajaran
2. Mengetahui bahaya dan akibat dari perbuatan tersebut baik didunia maupun diakhirat dengan belajar ilmu agama
3. Meminta maaf dan penghalaln terhadap orang yang bersangkutan selagi masih hidup, bila hal ini tidak menimbulkan akibat yang lebih fatal seperti dia akan lebih marah dan tidak pernah mau menerima dan seterusnya. Mka sebagi gantinya, menurut ulama adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya.
4. Membaca riwayat-riwayat hidup dari orang yang berbuat zalim sebagai pelajaran dan i'tibar sebab kebanyakan kisah-kisah , terutama diadalam al-qur'an yang harus kita ambil pelajarannya adalah mereka yang berbuat zalim, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. (Abu HArun Ibnu Nursal)


http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/menabur-kedzaliman-menuai-kegelapan.html