Mengenai Saya

Foto saya
Pangandaran, West Java, Indonesia
Simple

Selasa, 19 Juni 2012

Utamakan Learning Bukan Studying

Dalam bahasa Inggris ada dua kata yang bisa di pakai untuk kata belajar, yaitu “learn” dan “study”.
Learn adalah bentuk belajar dari pengalaman kehidupan bukan sekedar dari buku atau text book. Sedangkan study adalah kegiatan belajar dari buku atau dari guru di kelas atau di sekolah.
Kita bisa sukses jika berhenti sekolah (study), tapi kita tak mungkin bisa sukses jika berhenti belajar (learn).
Banyak di antara kita yang percaya bahwa pendidikan formal atau sekolah berkaitan erat dengan kesuksesan seseorang. Orang menganggap, prestasi sekolah yang buruk menjadi gambaran masa depan yang buruk, sebaliknya prestasi sekolah yang baik menjadi gambaran masa depan yang baik pula.
Banyak yang di antara kita pasrah akan nasib, menerima keadaan apa adanya, ikhlas karir terhambat, rela hidup susah dan serba kekurangan, serta merasa keadaan itu pantas kita terima karena pendidikan rendah, bukan sarjana, atau prestasi akademik tidak membanggakan.
Bagi yang berpikiran seperti di atas terpaksa saya katakana bahwa itu adalah SALAH BESAR dan pemikiran itu juga sangat berbahaya.
Orang yang mempunyai sudut pandang seperti ini tanpa sadar sudah menghina nabi-nabi dan para pembangun peradaban manusia di masa lalu. Tokoh besar di masa lalu tidak kenal sekolah, bahkan merekalah yang mendirikan atau menemukan sekolah. Banyak juga di antara tokoh besar di masa lalu yang tidak bisa baca tulis.
Pendidikan dan ilmu sebenarnya bersifat universal, kita bisa belajar kapan saja dan di mana saja.
Kita tetap mempunyai peluang untuk sukses, sekalipun latar belakang pendidikan yang rendah, syaratnya harus mau belajar (learn) dari kehidupan termasuk dari pekerjaan.
Orang sukses adalah mereka yang berhasil mengambil hikmah kehidupan dan belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman, dari kegagalan, lingkungan, tantangan, harapan, kejadian atau peristiwa, keadaan dan dari apa saja.
Orang sukses adalah mereka yang selalu siap belajar sebanyak mungkin dari diri sendiri, orang lain, guru, murid, teman, relasi, pesaing, bawahan, pemimpin dan dari siapa saja.
Semakin banyak kita belajar (learn), semakin besar peluang kesuksesan.
Untuk mencapai kesuksesan sejati, orang tidak membutuhkan gelar, karena gelar atau ijazah adalah symbol sedangkan esensinya adalah kemampuan.
Gelar atau ijazah memang dibutuhkan untuk melamar kerja atau mendapat posisi yang biasa-biasa saja, berkarir secara biasa-biasa saja, dan berpenghasilan biasa-biasa saja. Tapi jika untuk mencapai puncak kesuksesan, maka bukan gelar lagi yang bicara.
Sebuah riset menunjukkan bahwa paling banyak, IQ berkontribusi 7-20 % sebagai faktor penentu kesuksesan hidup. Sedangkan 80% selebihnya berasal dari kecerdasan lain.
Apa itu kecerdasan yang lain selain IQ?
Anda bisa sukses jika mempunyai kekuatan impian, keinginan kuat, untuk mengubah nasib. Anda akan sukses jika punya kemauan, punya keyakinan diri, dan punya daya juang yang kuat, serta antusiasme. Anda dijamin mencapai sukses kalau siap kerja keras, punya komitmen dan siap berkorban.
Jadi untuk sukses, justru dibutuhkan lebih banyak faktor non akademis dan faktor non intelektual.
Jadi sekali lagi, pendidikan formal tidak berhubungan erat dengan penghasilan. Walaupun memang ada bidang pendidikan tertentu yang prospektif masa depannya cerah, tapi sangat sedikit marketnya, dan harga pasarnya mahal.
Jika ingin penghasilan besar, kita harus menjadi entrepreneur dan menjadi pembelajar (learn) dalam bisnis dan kehidupan.
Mohon catatan ini tidak diartikan sebagai sikap kurang menghargai para akademisi, dosen, guru, doctor atau professor kita. Sebab hidup adalah pilihan. Sukses atau tidaknya kita ke depan, bukan lantaran kelebihan dan kekurangan kita, melainkan kita sendirilah yang menentukan.




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/utamakan-learning-bukan-studying.html

Fasilitas Menjamin Kesuksesan?

Ada yang bilang masyarakat Indonesia sudah cukup diberi motivasi, mereka butuh saran, fasilitas atau sarana untuk mencapai sukses.
Orang bisa sukses bukan karena fasilitas mereka yang cukup untuk mencapai kesuksesan mereka. Tapi karena impian, tekad, kemauan dan kerja keraslah yang menuntun mereka sampai ke puncak.
Tanpa itu semua, sebesar apapun fasilitas yang diberikan, akan menjadi sia-sia belaka, dan menjadi orang kebanyakan.
Mari kita lihat contohnya.
Buku Harry Potter membuat sang penulis, JK Rowling menjadi salah satu orang terkaya di dunia dengan kekayaan mencapai US$ 798 million (Rp. 7,9 triliun).
Padahal sebelumnya ia masuk dalam kategori orang miskin yang layak mendapat santunan.
Saat mengetik naskah pun ia harus mengetik menggunakan mesin tik tua, karena tidak mempunyai computer. Bahkan, karena tak punya uang untuk foto kopi, ia harus mengetik ulang naskahnya beberapa kali agar bisa diserahkan ke beberapa penerbit.
Bahkan ia menerima berbagai penolakan dari pihak penerbit, sebelum akhirnya buku Harry Potter meledak dipasaran.
Ini membuktikan dengan minimnya fasilitas bukan jaminan untuk tidak sukses. JK Rowling telah membuktikannya dengan sikap pantag menyerah dan kerja keras yang luar biasa.
Masih kurang contoh. Mari kita ikuti pergelaran Piala Asia 2007. Timnas Irak, yang saat itu negaranya sedang porak poranda akibat perang, tidak mempunyai uang untuk dana operasional sehingga persiapan mereka dibiayai oleh Asian Football. Sedangkan untuk gaji pemain tidak jelas bagaimana perjanjiannya, sehingga tidak ada jaminan akan mendapat bayaran atau tidak.
Saat latihan pun mereka ke Jordania, karena mereka tidak punya tempat latihan yang layak, dan satu-satunya yang mungkin layak meiliki resiko yang besar.
Masalah belum selesai, pelatih belum bisa membentuk tim yang solid, karena beberapa pemain yang berbeda etnis dan agama tidak mau berbicara satu sama lain.
Setelah lama berinteraksi dan sadar akan pentingnya peran mereka untuk membangkitkan semangat bangsa, mereka baru bersatu.
Sekalipun tanpa fasilitas pendukung yang lengkap, sekalipun tanpa kejelasan gaji, timnas Irak tampil memukau.
Mereka berhasil melibas tim bertabur bintang, Australia di perempatfinal, dan menaklukkan tim kuat Korea Selatan di semifinal dan melaju ke final.
Kemenangan di semifinal ini disambut suka cita rakyat Irak, sayangnya sebuah bom meledak di tengah kerumunan yang menewaskan 50 orang.
Peristiwa tragis ini justru membangkitakn semangat juan mereka bertanding di final. Tim ini semakin bersatu dan bertekad menang, karena mereka sadar kemenangan mereka bisa menjadi semangat baru bangsanya dan mereka tidak ingin kematian para korban menjadi sia-sia.
Akhirnya dengan semangat baja, di partai final timnas Irak berhasil mengalahkan Arab Saudi yang merupakan juara tiga kali Piala Asia. Timnas Irak berhasil menjadi juara Piala Asia 2007, bahkan salah satu pemainnya memegang top scorer.
Sekarang mari kita lihat Negara kita tercinta, Indonesia. Dengan kekayaan yang dimiliki negeri ini, baik kekayaan dari hasil laut, perkebunan, pertambangan, dan kekayaan yang lainnya, membuat Indonesia masih menjadi Negara berkembang. Padahal Negara kita ini hampir memiliki segalanya yang nyaris dimiliki Negara lain.
Sedangkan Singapura yang luas negaranya hanya 400 km2 (cuma seper tiga ribu luas Indonesia yang mencapai 1.922.570 km2) dan tidak memiliki sumber daya alam apapun (hanya memiliki sumber daya manusia) menjadikan Singapura sebagai salah satu Negara terkaya di dunia
Sekali lagi ini membuktikan, tanpa uang, fasilitas, ataupun berbagai kekuatan material lainnya tidak menjanjikan untuk tidak sukses. JK Rowling, Timnas Irak dan Singapura telah membuktikannya. Dan Indonesia pun telah membuktikan dengan kekayaan tidak menjamin untuk aman di puncak kesuksesan.
Memang mudah menyalahkan fasilitas, karena fasilitas adalah benda mati yang hanya diam dan tidak akan membantah kita. Sayangnya ketika kita selalu menyalahkan fasilitas, kita justru terjebak untuk tidak memperbaiki diri.
Orang sukses akan mencari jalan bagaimana caranya bisa menghasilkan prestasi yang maksimal dengan fasilitas yang ada. Jadi yang ada di pikiran mereka adalah menang atau sukses terlebih dahulu, tanpa peduli fasilitasnya.
Orang dengan mental pecundang, ketika melihat minimnya fasilitas akan pasrah dan meyakini bahwa mereka tidak mungkin menang dengan fasilitas yang ada.
Jadi bukan fasilitas yang membuat kita menang atau kalah dalam persaingan tapi mentalitas.




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/fasilitas-menjamin-kesuksesan.html

Kesabaran Berujung Kenikmatan

Seorang dokter spesialis luka dalam Riyadh yang bernama Dr. Khalid Al Jubir berkisah tentang dirinya dan sahabatnya. Beginilah kisahnya, selama kuliah dulu dia memiliki seorang teman mahasiswa akademi militer. Dalam semua hal dia memiliki banyak kelebihan disbanding teman-temannya yang lain. Selain baik hati, pemuda ini juga amat rajin shalat malam dan tidak pernah lalai menjalankan shalat lima waktu.
Pemuda ini lulus dengan nilai memuaskan. Tentu saja ia sangat ingin senang. Namun tak ada yang bisa menduga jalannya takdir. Suatu saat pemuda ini terserang penyakit influensa, dan sejak saat itu fisiknya mnejadi lemah hingga mudah terserang berbagai macam penyakit. Hingga karena komplikasi penyakit yang beragam, ia menjadi lumpuh. Tubuhnyatidak mampu lagi digerakkan sama sekali. Semua dokter yang menanganinya mengatakan kepada Dr.Khalid, kalau kemungkinan kesembuhan untuk pemuda itu sekitar 10% saja.
Pada saat Dr.Khalid membesuknya di rumah sakit, ia melihat pemuda itu tak berdaya diatas ranjangnya. Dr.Khalaid datang untuk menghiburnya. Namun Subhanallah, apa yang ia dapatkan justru sebaliknya, wajah pemuda it cerah jauh dari mendung kedukaan. Pada wajah itu jelas sekali terpancar cahaya dan kilauan iman.
”Alhamdulillah, sya dalam leadaan sehat-sehat saja. Sya berdoa kepada Allah Subhanaahuwataa’ala semoga Anda lekas sembuh.” kata Dr.Khalid membuka pembicaraan. Di luar dugaan pemuda itu menjawab,”Terimakasih untuk doamu. Sesunggunya saudaraku mungikn saat ini Allah tengah menghukumku karena lalai dalam menghafal Al-Qur’an. Allah menguji saya, agar saya segera menuntaskan hafalan saya. Sungguh ini adalah nikmat yang tiada terkira.”
Dr.Kahlid terpana mendengar jawaban menakjubkan itu. Bagaimna mungkin cobaan begitu berat yang tengah dialami pemuda itu dianggap sebagai suatu nikmat? Benar-benar ini adalah suatu pelajaran baru yang amat berharga bagi dirinya sehingga ia merasa tak berharga dihadapan pemuda itu.
Dr.kahlid teringat akan sabda Rasulullah Sallallahu A’laihi Wassallam : ” Sungguh menggumkn perkara seorang mukmin. Seluruh perkaranya mengandung kebaikan. Hal ini hanya ada pada seorang mukmin. Ketika ia dikaruniai kesengangan ia bersyukur, maka hal iti baik baginya. Dan ketika ia ditimpa kesedihan, ia menghadapinya dengan sabar dan tabah, maka hal itu baik baginya.” (Riwayat Muslim)
Jujur saja Dr.Kahalid teramat mengagumi ketabahan pemuda itu. Beberapa pekan kemudian ia membesuk sahabatnya itu, sepupu sang pemuda berkata,”Coba gerakkan kakimu, coba angkat kakimu ke atas.” Peuda itu menjawab,”Sungguh saya amat malu kepada Allah untuk terburu-buru sembuh. Jika kesembuhan itu yang terbaik bai Allah, aku bersyukur. Namun, apabila Allah tidak memberikan kesembuhan padaku hanya agfar aku tidak melangkah ke tempat-tempat maksiat aku pun bersyukur. Allah Amha Tau yang terbaik untukku.
Allahu Akbar, betapa kaimaat itu sangat menggetarkan. Setelah peristiwa itu Dr.khalid menempuh progrmmagisternya ke luar kota. Beberapa bulan setelah itu ia kembalidan yang pertama diingatnya adalah pemuda sahabatnya itu. Dalam benaknya ia berpikir,”Paling saat ini ia sedang terbaring lemah di atas kasurnya, jika ia kemana-mana pastilah ia digotong.”
Ternyata menurut teman-temannya pemuda itu sudah pindah ke ruang penyiapan untuk mendapatkan pengobatan alami. Pada saat Dr.Khalid menemuinya, ia tengah duduk di kursi roda. Dr.Khalid senagng sekali melihatnya hingga berkali-kali ia mengucapkan syukur.
Pemuda itu dengan spontan menyampaikankabar gembira yang tak terduga ”Alhamdulillah saya telah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an.” katanya penuh semangat. ”Subhanallah” Dr.Khalid memekik kagum. Setiap kali membesuknya ia selalu mendapat hikmah yang semakin mempertebal keimanannya.
Tidak lama berselang, Dr.Khalid kembali pergi ke luar kota selama empat bulan. Dan selama itu pula ia tidak pernah bertemu dengan pemuda sahabatnya yang sangat tabah itu. Hingga saat ia kembali, ia menerima kenyataan yang amat sulit diterima oleh akal manusia. Namun, bagi Dzat yang Maha Tinggi, bukanlah hal yang mustahil terjadi. Jangankan hanya sakit, tulang-belulang yang telah hancur pun bisa dihidupka kembali menjadi manusia yang utuh.
Pada waktu Dr.Khalid sedang shalat di mushalla rumah sakit itu. Tiba-tiba ia mendengar sapaan seseorang, ”Abu Muhammad!” Reflek dia menoleh dan pandangan di hapannya membuatnya terpana. Ia tak mapu mengucap sepatah kata pun. Benar, Wallahi (Demi Allah-red) yang berdiri di hadapannya adalah pemuda sahabatnya yang dulu lumpuh total. Namun di hadapannya kini ia dapat berjalankembali dengan normal dan segar bugar. Allahu Akbar, sesungguhnya keimanan lah yang dapat memunculkan keajaiban.
Spontanitas, Dr. Khalid menangis. Pertama dia menangis karena terharu dan senang akan karunia Allah berupa kesembuhan untuk sahabatnya itu. Kedua ia menangis untuk dirinya sendiri yang selama ini lalai untuk mensyukuri nikmat-nikmatNya.
Ternyata, karunia untuk sahabatnya tidak hanya sebatas itu. Ia diterima sebagai delegasi Universitas Malik Su’ud Riyadh, kerajaan Saudi Arabia untuk melanjutkan studi magisternya. ”Dr. Khalid apa yang saya terima ini justru akan menjadi malapetaka bagi saya jika saya tidak mensyukurinya.” Paparnya kepada Dr.Khalid
Setelah tujuh tahun, pemuda itu mengunjungi Dr. Khalid kembali dalam rangka mengantar kakeknya yang terkena penyakit hati. Dan Subhanallah, ia telah menjadi seorang mayor!
Dr.Khalid kembali meneteskan airmatanya. Ia berdoa kepada Allah agar pemuda itu selalu dalam kebaikan dan selalu istiqomah di dalam iman dan islam. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan permohonan setiap hambaNya.




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/kesabaran-berujung-kenikmatan.html

Istriku, Aku Mencintaimu

Kendati dirinya telah keliling dunia, bahkan hampir tidak ada negara baru di dalam peta, dan terlalu sering naik pesawat terbang sehingga seperti naik mobil biasa, namun istrinya belum pernah naik pesawat terbang kecuali pada malam itu. Hal itu terjadi setelah 20 tahun pernikahan mereka. Dari mana? Dan kemana? Dari Dahran ke Riyadh. Dengan siapa? Dengan adiknya yang orang desa dan bersahaja yang merasa dirinya harus menyenangkan hati kakaknya dengan semampunya. Ia membawa wanita itu dengan mobil bututnya dari Riyadh menuju Dammam. Pada waktu pulang, wanita itu berharap kepadanya agar ia naik pesawat terbang. Wanita itu ingin naik pesawat terbang sebelum meninggal. Ia ingin naik pesawat terbang yang selalu dinaiki Khalid, suaminya, dan yang ia lihat di langit dan di televisi.
Sang adik mengabulkan keinginannya dan membeli tiket untuknya. Ia menyertakan putranya sebagai mahramnya. Sementara ia pulang sendirian dengan mobil sambil diguncang oleh perasaan dan mobilnya.
Malam itu Sarah tidak tidur, melainkan bercerita kepada suaminya, Khalid, selama satu jam tentang pesawat terbang. Ia bercerita tentang pintu masuknya, tempat duduknya, penerangannya, kemegahannya, hidangannya, dan bagaimana pesawat itu terbang di udara. Terbang!! Ia bercerita sambil tercengang. Seolah-olah ia baru datang dari planet lain. Tercengang, terkesima, dan berbinar-binar. Sementara suaminya memandanginya dengan perasaan heran. Begitu selesai bercerita tentang pesawat terbang, ia langsung bercerita tentang kota Dammam dan perjalanan ke sana dari awal sampai akhir. Juga tentang laut yang baru pertama kali dilihatnya sepanjang hidupnya. Dan juga tentang jalan yang panjang dan indah antara Riyadh dan Dammam saat ia berangkat. Sedangkan saat pulang ia naik pesawat terbang. Pesawat terbang yang tidak akan pernah ia lupakan unuk selama-lamanya.
Ia bercerita sambil tercengang. Seolah-olah ia baru datang dari planet lain. Tercengang, terkesima, dan berbinar-binar. Sementara suaminya memandanginya dengan perasaan heran.
Ia berlutut seperti bocah kecil yang melihat kota-kota hiburan terbesar untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Ia mulai bercerita kepada suaminya dengan mata yang berbinar penuh ketakjuban dan kebahagiaan. Ia melihat jalan raya, pusat perbelanjaan, manusia, batu, pasir, dan restoran. Juga bagaimana laut berombak dan berbuih bagaikan onta yang berjalan. Dan bagaimana ia meletakkan kedua tangannya di air laut dan ia pun mencicipinya. Ternyata asin… asin. Pun, ia bercerita bagaimana laut tampak hitam di siang hari dan tampak biru di malam hari.
“Aku melihat ikan, Khalid! Aku melihatnya dengan mata kepalaku. Aku mendekat ke pantai. Adikku menangkap seekor ikan untukku, tapi aku kasihan padanya dan kulepaskan lagi ke air.
Ikan itu kecil dan lemah. Aku kasihan pada ibunya dan juga padanya. Seandainya aku tidak malu, Khalid, pasti aku membangun rumah-rumahan di tepi laut itu. Aku melihat anak-anak membangun rumah-rumahan di sana. Oh ya, aku lupa, Khalid!” ia langsung bangkit, lalu mengambil tasnya, dan membukanya. Ia mengeluarkan sebotol parfum dan memberikannya kepada sang suami. Ia merasa seolah-olah sedang memberikan dunia. Ia berkata, “Ini hadiah untukmu dariku. Aku juga membawakanmu sandal untuk kau pakai di kamar mandi.”
Ia mengeluarkan sebotol parfum dan memberikannya kepada sang suami. Ia merasa seolah-olah sedang memberikan dunia.
Air mata hampir menetes dari mata Khalid untuk pertama kali. Untuk pertama kalinya dalam hubungannya dengan Sarah dan perkawinannya dengan sang istri. Ia sudah berkeliling dunia tapi tidak pernah sekalipun memberikan hadiah kepada sang istri. Ia sudah naik sebagian besar maskapai penerbangan di dunia, tapi tidak pernah sekalipun mengajak sang istri pergi bersamanya. Karena, ia mengira bahwa wanita itu bodoh dan buta huruf. Apa perlunya melihat dunia dan bepergian? Mengapa ia harus mengajaknya pergi bersama?
Ia lupa bahwa wanita itu adalah manusia. Manusia dari awal sampai akhir. Dan kemanusiaannya sekarang tengah bersinar di hadapannya dan bergejolak di dalam hatinya. Ia melihat istrinya membawakan hadiah untuknya dan tidak melupakannya. Betapa besarnya perbedaan antara uang yang ia berikan kepada istrinya saat ia berangkat bepergian atau pulang dengan hadiah yang diberikan sang istri kepadanya dalam perjalanan satu-satunya dan yatim yang dilakukan sang istri. Bagi Khalid, sandal pemberian sang istri itu setara dengan semua uang yang pernah ia berikan kepadanya. Karena uang dari suami adalah kewajiban, sedangkan hadiah adalah sesuatu yang lain. Ia merasakan kesedihan tengah meremas hatinya sambil melihat wanita yang penyabar itu. Wanita yang selalu mencuci bajunya, menyiapkan piringnya, melahirkan anak-anaknya, mendampingi hidupnya dan tidak tidur saat ia sakit. Wanita itu seolah-olah baru pertama kali melihat dunia. Tidak pernah terlintas di benak wanita itu untuk mengatakan kepadanya, “Ajaklah aku pergi bersamamu!” Atau bahkan, “Mengapa ia tidak pernah bepergian?” Karena ia adalah wanita miskin yang melihat suaminya di atas, karena pendidikannya, wawasannya, dan kedermawanannya. Tapi ternyata bagi Khalid, semua itu kini menjadi hampa, tanpa rasa dan tanpa hati. Ia merasa bahwa dirinya telah memenjara seorang wanita yang tidak berdosa selama 20 tahun yang hari-harinya berjalan monoton.
Ia merasakan kesedihan tengah meremas hatinya sambil melihat wanita yang penyabar itu. Wanita yang selalu mencuci bajunya, menyiapkan piringnya, melahirkan anak-anaknya, mendampingi hidupnya dan tidak tidur saat ia sakit. Wanita itu seolah-olah baru pertama kali melihat dunia.
Kemudian, Khalid mengangkat tangannya ke matanya untuk menutupi air matanya yang nyaris tak tertahan. Dan ia mengucapkan satu kata kepada istrinya. Satu kata yang diucapkannya untuk pertama kalinya dalam hidupnya dan tidak pernah terbayang di dalam benaknya bahwa ia akan mengatakannya sampai kapan pun. Ia berkata kepada istrinya, “Aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dari lubuk hatinya.
 Kedua tangan sang istri berhenti membolak-balik tas itu. Mulutnya pun berhenti bercerita. Ia merasa bahwa dirinya telah masuk ke dalam perjalanan lain yang lebih menakjubkan dan lebih nikmat daripada kota Dammam, laut, dan pesawat terbang. Yaitu, perjalanan cinta yang baru dimulai setelah 20 tahun menikah. Perjalanan yang dimulai dengan satu kata. Satu kata yang jujur. Ia pun menangis tersedu-sedu.'




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/istriku-aku-mencintaimu.html

KEIKHLASAN IBU PENJUAL NASI

Seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum jenaka di sela-sela pipinya yang bulat, duduk menggelar nasi bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan dan kuli angkut yang sudah menunggu sejak tadi mengerubungi dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka menu dan rasa bukan soal, yang terpenting adalah harganya yang luar biasa murah.
Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang dengan harga sedemikian rendah. Lalu apa untungnya? Wanita itu terkekeh menjawab, “Bisa numpang makan dan beli sedikit sabun”. Tapi bukankah ia bisa menaikkan harga sedikit? Sekali lagi ia terkekeh, “Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa yang mau menyediakan sarapan buat mereka?” katanya sambil menunjukkan para lelaki yang kini berlompatan ke atas truk pengantar mereka ke tempat kerja.
Ah! Betapa cantiknya, bila sebongkah misi hidup dipadukan dalam sebuah kerja. Orang-orang yang memahami benar kehadiran karyanya, sebagaimana wanita tua di atas, yang bekerja demi setitik kesejahteraan manusia, adalah tiang penyangga yang menahan langit agar tak runtuh. Merekalah beludru halus yang membuat jalan hidup yang tampak keras berbatu ini menjadi lembut bahkan mengobati luka.
Bukankah demikian seharusnya tugas kita dalam bekerja :
menghadirkan secercah kesejahteraan bagi sesama.



http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/keikhlasan-ibu-penjual-nasi.html

ANAK-ANAK PEMBAWA HIDAYAH

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasih tetapi AlIah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qoshosh: 56)
Pembaca yang budiman berikut ini, akan kami kisahkan beberapa kisah yangangat berkesan. Kami tuturkan dengan tujuan agar kita bisa mengambil pelajaran serta nasihat dan manfaatnya. Sungguh, setiap muslim tidak boleh meremehkan suatu kebaikan walaupun ringan, karena bisa jadi sebuah kalimat jujur yang dikeluarkan dari lubuk hati yang paling dalam, sekalipun remeh ternyata bisa menjadi sebab hidayah seseorang dan memindahkannya dari jalan keburukan menu jalan kebaikan. lngatlah sebuah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.’ (QS. Yusuf:111)
Sekarang kita mulai dari kisah yang pertama:
Bapak Yang Sesungguhnya
Masuklah seorang ayah ke dalam rumah di permulaan malam sebagaimana biasanya. Tiba-tiba dia mendengar suara tangisan yang bersumber dari kamar putranya. Sang ayahpun masuk ke dalam kamar putranya dengan keheranan dan penuh tanya tentang sebab tangisan putranya. Sang anak menjawab dengan tersengguk, ‘Tetangga kita, si Fulan, kakek Ahmad temanku telah meninggal.”
Sang ayah berkata dengan penuh heran: ‘Apa? Si Fulan telah mati? Biar saja si tua bangka yang telah hidup lama itu mati, dia bukan urusanmu. Engkau menangisinya? Celaka kamu, anak dungu! Engkau telah mengagetkanku, kukira telah terjadi bencana di rumah, ternyata semua tangisan ini hanyalah karena orang tua itu. Bisa jadi seandainya aku mati engkau tidak akan menangisi aku seperti ini.
Sang anakpun melihat kepada ayahnya dengan pandangan penuh air mata dan hati yang berkeping-keping seraya berkata: “Ya, aku tidak akan menangisi ayah seperti aku menangisinya! Dia adalah orang yang memegang kedua tanganku menuju shalat jum’at dan shalat berjamaah pada shalat subuh, dia adalah orang yang memberikan peringatan kepadaku dari teman-teman yang buruk, serta menunjukkanku kepada teman-teman yang shalih dan bertakwa. Dialah yang telah memberikan semangat kepadaku untuk menghafalkan al-Qur‘an, serta mengulang-ulang dzikir.”
“Sementara ayah, apa yang telah ayah perbuat terhadap diriku? Ayah hanyalah ayahku dalam penamaan, ayah adalah ayah bagi jasadku. Adapun dia, maka dia adalah ayah bagi rohku. Hari ini aku akan menangisinya, dan aku akan terus menangisinya, karena dialah ayahku yang sejati.” Lalu sang anakpun terisak dan terus menangis.
Saat itulah sang ayah tersadar dari kelalaiannya. Dia terkesima dengan ucapan putranya, merindinglah kulit-kulitnya, dan hampir-hampir air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Serta merta dia peluk dan timang putranya, dan sejak hari itu dia tidak pernah meninggalkan satu shalatpun di dalam masjid.
Sampaikan dariku walau satu ayat
Seorang pemuda hidup di atas kemaksiatan. Kemudian dia menikah dengan seorang wanita yang shalihah. Lalu istrinya melahirkan beberapa anak untuknya, dan diantara anak-anak tersebut adalah seorang anak laki-laki yang bisu dan tuli.
lbunya sangat berambisi untuk menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang shalih, dia ajari shalat dan ketergantungan terhadap masjid sejak pertumbuhan kuku-kukunya. Di saat dia telah mencapai usia tujuh tahun dia menyaksikan penyimpangan dan kemungkaran yang dilakukan oleh ayahnya. Sang anakpun mengulang-ulang nasihat kepada ayahnya dengan isyarat untuk meninggalkan kemungkaran dan agar menjaga shalat lima waktu, namun tiada hasil.
Pada suatu hari, datanglah sang anak dengan suaranya tersedu-sedu, disertai aliran air mata seraya meletakkan mushhaf di hadapan ayahnya. Kemudian dia membuka surat Maryam dan meletakkan jari telunjuknya diatas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan’ (QS. Maryam:
45) lantas diapun menangis.
Sang ayahpun terkesan dengan pemandangan ini dan diapun menangis bersama putranya. Lalu Allah pun benkehendak membuka segala pengunci hati sang ayah melalui tangan sang anak yang shalih tersebut. Diapun mengusap air mata dari kedua mata anaknya, menciumnya kemudian berdiri bersamanya menuju masjid. Inilah buah dan istri yang shalihah, maka pilihlah, dan beruntunglah dengan istri yang memiliki agama, jika tidak maka engkau akan meraih penyesalan.




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/anak-anak-pembawa-hidayah.html

Syukurnya Seorang Buta

Imam Bukhari (hadits no 3464) dan Muslim (hadits no 2964) meriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu alaihi wa salam pernah bercerita:
”Dahulu ada tiga orang Bani Israil yang masing-masing menderita suatu
penyakit. Orang pertama diserang penyakit kudis disekujur tubuhnya, orang
kedua tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya (botak) dan orang
ketiga menderita cacat pada matanya sehingga tidak bisa melihat (buta).
Allah ingin menguji mereka dengan mengutus malaikat-Nya.
Malaikatpun mendatangi orang pertama seraya bertanya: ”Apa yang paling
anda inginkan?” Jawabnya: ”Warna dan kulit yang indah serta hilangnya
seluruh cacat di tubuhku yang membuat manusia menjauhiku.” Malaikat lalu
mengusapnya sehingga segala cacat di kulitnya hilang dan berganti warna
kulit yang indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ”Binatang (ternak) apa
yang anda inginkan?” Jawabnya: ”Unta…-atau sapi-” (perawi ragu).
Lantas diapun diberi unta yang sedang bunting dan malaikat berdoa:
”Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.”.
Selanjutnya malaikat mendatangi orang yang botak dan bertanya: ”Apa yang
paling anda inginkan?” Jawabnya: ”Rambut yang indah serta hilangnya
seluruh cacat yang membuat manusia lari dariku.” Malaikat lalu
mengusapnya sehingga cacat di kepalanya hilang dan diberi rambut yang
indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ”Binatang apa yang paling anda
inginkan?” Jawabnya: ”Sapi”. Lantas diapun diberi seekor sapi bunting
dan malaikat berdoa: ”Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.”
Kemudian malaikat mendatangi orang ketiga (si buta) dengan pertanyaan yang
sama: ”Apakah sesuatu yang paling anda inginkan?” Jawabnya: ”Semoga
Allah menyembuhkan mataku hingga aku dapat melihat.” Malaikat lalu
mengusapnya sehingga dia dapat melihat. Malaikat lalu bertanya lagi:
”Binatang apa yang paling anda inginkan?” Jawabnya: ”Kambing”. Lantas
diapun diberi kambing bunting dan malaikat berdoa: ”Semoga Allah
memberkahimu dengan binatang itu.”
Waktu terus berputar, hari datang silih berganti, bulan terus berganti dan
tahun demi tahun pun berlalu. Ternak mereka makin berkembang biak dan
bertambah banyak, hingga masing-masing mempunyai sebuah lembah yang mereka
pergunakan untuk menggembala ternaknya masing-masing. Lembah unta, lembah
sapi, dan lembah kambing.
Tibalah saatnya bagi Allah untuk menguji mereka.
Malaikat kembali mendatangi orang pertama yang kini adalah orang kaya dan
tidak lagi berkudis. Malaikat tersebut datang dengan wujud dan keadaan
orang tersebut sebelum jadi kaya, yaitu seorang miskin lagi berkudis.
Kemudian mengatakan: ”Saya seorang miskin yang kehabisan bekal dalam
perjalanan, hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah
kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah dikaruniai kulit yang
indah untuk berkenan kiranya memberikan sedikit harta demi kelangsungan
perjalanan saya”. Si kudis menjawab: ”Tidak, kebutuhanku yang lain masih
banyak.” Malaikat berkata: ”Sepertinya dulu saya pernah mengenal tuan.
Bukankah dahulunya tuan adalah seorang yang berkudis lalu Allah sembuhkan?
Dan dahulu tuan adalah seorang fakir lalu Allah cukupkan?” Dia menjawab:
”Harta ini adalah warisan nenek moyang sejak dulu”. Kata Malaikat:
”Jikalau engkau dusta maka Allah akan merubah tuan seperti keadaan
semula”.
Berikutnya malaikat mendatangi orang kedua. Malaikat menyerupai wujudnya
ketika masih miskin dan botak dahulu seraya mengajukan permintaan yang
serupa dengan orang kedua tadi. Jawaban yang diperoleh pun tak berbeda
dengan jawaban orang pertama. Akhirnya malaikat berkata: ”Jikalau engkau
dusta, maka Allah akan merubah tuan seperti semula”.
Malaikat kemudian mendatangi orang ketiga dengan rupa seorang buta yang
miskin seraya mengatakan: ”Saya orang miskin yang kehabisan bekal dalam
perjalanan. hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah,
kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah disembuhkan oleh Allah
untuk berkenan kiranya memberi saya sedikit harta demi kelangsungan
perjalanan saya ini”. Jawab si buta: ”Dahulu aku adalah seorang buta,
kemudian Allah menyembuhkanku. Maka ambillah apa saja dan berapapun yang
anda mau dan tinggalkan yang anda tidak suka. Demi Allah, saya tidak
merasa keberatan bila anda mengambil sesuatu untuk Allah”. Malaikat
menjawab: ”Tahanlah hartamu, ambillah kembali. Sesungguhnya kalian sedang
diuji. Allah telah meridhoimu dan murka kepada saudaramu”.
Su Buta dengan ikhlas hati memberikan hartanya kepada malaikat tersebut
yang dalam pandangannya adalah seorang yang membutuhkan bantuan. Maka
Allah memberkahinya dan dia tetap memiliki hartanya. Berbeda halnya dengan
kedua rekannya terdahulu yang ternyata dia berubah menjadi seorang bakhil.
Setelah berubah menjadi orang kaya dan berharta, keduanya lupa akan
kewajibannya, yaitu bersyukur kepada Allah dan memberikan hak orang lain
yang juga membutuhkan uluran tangannya. Maka dikembalikanlah keadaan
mereka sebagaimana semula.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran yang
sangat berharga. Di antaranya:
1. Iman akan adanya para malaikat yang diciptakan Allah dari cahaya.
2. Malaikat dapat menjelma seperti wujud bani Adam.
3. Wajibnya bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.
4. Syukur nikmat merupakan sebab keridhaan Allah.
5. Penetapan sifat ”Ridho” dan ”Murka” bagi Allah sebagaimana aqidah
salaf.
6. Sifat bakhil dan dusta merupakan penyebab murka Allah subhanahu wa
ta’ala sebagaimana terjadi pada si kudis dan si botak.
7. Jujur dan dermawan merupakan sifat yagn mulia sebagaimana sifat si buta
di atas.
8. Harta yang sedikit tapi disyukuri itu lebih baik daripada banyak tapi
tidak disyukuri sebagaimana harta si buta yang hanya kambing dibanding
harta si kudis dan si botak yaitu unta dan sapi.
9. Keutamaan shadaqah dan belas kasih terhadap fakir miskin.
10. Pentingnya ilmu kisah karena lebih mendalam di hati manusia.



http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/syukurnya-seorang-buta.html

JAWABAN ISTIKHOROH CINTA

“Insya Allah, aku akan kenalkan kamu ke temanku, dia adalah sahabat baikku saat kuliah di Bandung dulu. Sekarang dia kerja di Jakarta dan menetap di sana.” kata Faruq kepada Dianti, sahabat perempuannya semasa sekolah dulu.
Dianti adalah seorang wanita sarjana bidang pendidikan yang saat ini meniti karir di sebuah lembaga bimbingan belajar di Surabaya. Usianya yang dewasa menjadikannya cukup matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan, tapi sayangnya hingga saat ini belum ada satu lelaki pun yang datang untuk meminangnya. Sebagai wanita, tentu rasa sedih menyelinap di lubuk
hatinya, namun mampu ditutupnya rasa sedih itu dengan kesibukan dalam pekerjaan yang cukup menyita waktu dan perhatiannya.
Seperti orang tua kebanyakan, orang tuanya pun ingin agar Dianti segera mendapatkan seorang jodoh. Seorang jodoh dari kalangan lelaki terpelajar yang taat lagi soleh agar dapat menjadi imam untuk dirinya kelak.
Sebagai bentuk usahanya untuk mendapatkan jodoh dambaan hati, Dianti meminta tolong pada sahabatnya, Faruq, agar berkenan mendoakannya sembari berharap supaya jodoh yang diharapkannya segera datang. Faruq pun berbesar hati untuk menerima permintaan sahabatnya itu, mendoakannya, bahkan lebih dari itu, ia bermaksud mengenalkan Dianti kepada Sersan, teman baiknya semasa kuliah di Bandung dulu.
“Serius kamu mau kenalkan aku dengan temanmu? Makasih ya Faruq, kamu memang teman baikku, mudah-mudahan perkenalan ini bisa membawa kebaikan. Semoga dia adalah jodohku ya Ruq,” ujar Dianti kepada Faruq.
“Amiiin… semoga ya, kita hanya bisa berusaha, Allah lah penentu segalanya. Kita sama-sama berdoa semoga Allah meridhoi usaha ini dan kalian dipersatukan olehNya dalam suatu ikatan suci, pernikahan,” tandas Faruq menimpali jawaban Dianti.
Hari demi hari berlalu, waktu pun terlewati dengan seribu harapan yang membuncah luas dalam hati Dianti. Harapan akan hadirnya seorang lelaki soleh yang bisa mengajaknya untuk sama-sama taat kepada Allah, Tuhannya. Namun sebagai wanita, kadang muncul rasa minder dan rendah diri dalam hati Dianti, merasa bahwa masih banyak kekurangan yang melekat dalam hatinya.
“Tapi aku minder Ruq, aku hanya wanita biasa yang nggak cantik, apalagi aku hanya lulusan sebuah perguruan tinggi biasa, yang nggak seperti dia yang lulusan perguruan tinggi terkenal di negeri ini, mana mungkin dia mau sama aku,” sergah Dianti suatu hari, menerangkan semua perasaan negatifnya yang bergelut menjadi satu dalam pikirannya.
“Dianti, apa salahnya kalau semua ini dicoba, janganlah kamu rendah diri seperti itu. Kita nggak tahu siapa jodoh kita dan bagaimana kehidupan kita nanti. Kita hanya bisa berusaha, dan mungkin inilah salah satu usaha itu. Kalau kamu berkata begitu, sama saja kamu nggak bersyukur dengan apa yang sudah kamu dapatkan selama ini. Kamu pintar, sarjana dan pekerjaanmu juga mapan, lalu apa yang membuatmu merasa minder? Optimislah dan tetap percaya diri,” terang Faruq menyemangati Dianti agar tidak rendah diri terhadap perkenalan ini.
“Kekuranganku banyak Ruq, lalu bagaimana aku harus menutupi kekuranganku ini semua? Aku takut kalau aku bukan tipe wanita idaman Sersan. Apalagi iman dan ilmuku juga tidak sebaik Sersan.” tambahnya lagi.
“Sersan bukan lelaki yang suka aneh-aneh, dia tidak memandang kecantikan dan harta dari seorang wanita, tapi yang dia pandang adalah ketaatannya pada Allah. Kalau memang kekuranganmu banyak, bukankah setiap orang pasti punya kekurangan, bahkan tanpa terkecuali? Kamu punya kekurangan dan Sersan pun juga punya kekurangan. Justru lebih baik kamu tampil apa adanya, tidak menutupi kekuranganmu daripada hanya menunjukkan sisi baikmu saja. Nah, dengan adanya pernikahan, maka suami selayaknya menjadi pakaian untuk menutupi kekurangan istri dan istri pun menjadi pakaian untuk menutupi kekurangan suami, demikian juga dengan kamu dan Sersan nantinya. Kamu adalah pakaian untuk Sersan dan Sersan adalah pakaian untuk kamu. Lalu tentang iman dan ilmu yang kamu rasa kurang, bukankah setelah menikah nanti kalian bisa belajar bersama? Sersan menjadi ladang dakwah untukmu dan kamu menjadi ladang dakwah untuknya. Kewajiban Sersanlah untuk menarbiah atau mendidik kamu dan kewajibanmulah untuk menarbiah atau mendidik Sersan. Bukankah hidup menjadi lebih indah bila saling mengingatkan dan melengkapi?” Jawab Faruq lagi berusaha menghibur hati Dianti.
Sersan, demikian julukan akrab ala tentara yang biasa ia terima dari teman-temannya. Sersan tidaklah seperti Dianti yang suka minder. Dia tipe lelaki yang penuh percaya diri namun sederhana. Kesederhanaan yang ditampakkannya dalam berpenampilan, bersikap dan berbicara. Suatu karakter kuat yang diperolehnya dari didikan tegas kedua orang tuanya di pelosok sebuah desa di kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tak ada sosok necis, parlente apalagi gaul yang menyelimuti dirinya, benar-benar jauh dari penampilan lelaki kebanyakan yang seusia dengannya.
“Faruq, apalah yang bisa kubanggakan dari diriku ini, aku bukan lelaki yang ganteng apalagi kaya. Kamu juga tahu bagaimana kedua orang tua dan keluargaku di desa sana. Kami bukan dari keluarga mapan, bahkan untuk biaya sekolah dan kuliahku dulu pun, aku harus berjuang keras kesana kemari agar aku berhasil. Makanya dalam mencari istri, yang kucari adalah seorang wanita yang mau menerimaku apa adanya. Cantik bukanlah patokan utamaku, yang terpenting dia taat kepadaku, mampu menentramkan batinku, dan mau bantu aku untuk merawat orang tuaku terutama bapak yang telah renta dan sakit-sakitan,” ujar Sersan kepada Faruq.
Sersan sadar bahwa masalah jodoh bukanlah masalah sederhana yang dapat diukur dari kecantikan dan harta yang berlimpah semata, tapi kemuliaan akhlaklah yang akan menentramkan hati bagi setiap pria, terutama hati Sersan, hingga membuat para suami pantas terlahirkan sebagai lelaki.
Dianti pun menimpali pertanyaan Sersan.
“Insya Allah aku akan berusaha menjadi wanita yang solihah, wanita yang taat pada suamiku kelak. Bagaimanapun juga, orang tuanya adalah orang tuaku, dan orang tuaku adalah orang tuanya juga. Aku akan bantu merawat bapaknya juga, apa yang menjadi kewajibannya adalah kewajibanku dan apa yang menjadi kewajibanku adalah kewajibannya juga nantinya,” ujar Dianti kepada Faruq.
“Syukurlah, Alhamdulillah kalau memang kamu bisa memahami kondisi Sersan dan keluarganya saat ini,” ujar Sersan menanggapi kata-kata Dianti.
Begitulah komunikasi dan perkenalan yang terjadi di antara mereka. Namun selama ini komunikasi mereka bertiga hanya sebatas telepon dan sms, Dianti menghubungi Sersan melalui Faruq, dan sebaliknya, Sersan pun menghubungi Dianti melalui Faruq juga. Jadi tidak terhubung secara langsung antara Dianti dan Sersan.
Pernah suatu ketika, Faruq merasa lelah harus menjadi perantara diantara mereka berdua, sehingga agar komunikasi lebih mudah, Faruq menyarankan mereka agar berkomunikasi secara langsung perihal ta’aruf yang sedang mereka jalani ini. Mereka pun menyetujuinya.
Beberapa kali untuk sekian lamanya mereka berdua berkomunikasi secara langsung, Sersan menghubungi Dianti dan Dianti pun menghubungi Sersan, baik melalui telepon maupun sms, namun pembicaraan mereka hanya sebatas pembicaraan yang dianggap penting, tidak lebih.
Mereka berdua bukanlah insan yang mudah tergoda imannya, sehingga demi menjaga ‘izzah atau menjaga hati dari segala prasangka dan godaan, mereka berinisiatif untuk menyerahkan kembali komunikasi diantara mereka melalui Faruq. Suatu inisiatif yang diawali oleh Sersan demi menunjukkan kepribadian dirinya yang kuat sebagai seorang muslim yang tangguh.
“Faruq, aku kembalikan semua ini ke kamu. Demi menjaga hati ini, komunikasi antara aku dan Dianti kukembalikan lewat kamu ya. Hal ini sudah aku sampaikan ke Dianti, dan dia setuju,” ujar Sersan kepada Faruq. Pura-pura tak mengerti apa yang disampaikan Sersan, Faruqpun bertanya,
“Memang kenapa San, kok lewat aku lagi? Bukannya lebih baik dan lebih cepat kalau komunikasi di antara kalian, kalian lakukan sendiri. Bagaimana nanti kalau ada rahasia di antara kalian yang ingin disampaikan, tapi ternyata aku ketahui, bukankah bukan rahasia lagi namanya?”
“Bukannya aku nggak mau berkomunikasi secara langsung dengan Dianti, tapi masalahnya kami kan belum menikah, dia belum jadi mahromku, dan aku pun belum jadi mahromnya. Aku harom untuknya dan dia harom untukku. Tolonglah Ruq, aku hanya ingin menjaga hatiku agar terhindar dari segala fitnah dan prasangka. Apalah artinya ta’aruf kalau ternyata yang dilakukan adalah layaknya orang berpacaran, berkomunikasi membicarakan ini itu berduaan tanpa didampingi mahromnya, walau sebatas hanya lewat telepon. Kalau seperti itu, lalu apa bedanya ta’aruf dan pacaran? Bukankah itu sama saja dengan berpacaran yang mengatasnamakan ta’aruf?” tandas Sersan kepada Faruq sembari menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Faruq tersentak kaget mendengar apa yang disampaikan Sersan, betapa bodoh dirinya membiarkan kedua temannya yang berbeda jenis kelamin itu berkomunikasi secara langsung selama ini tanpa memperhatikan dampak negatif yang mungkin timbul kemudian. Suatu pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang sahabat terbaiknya.

*****
Perkenalan yang terjadi di antara mereka sebenarnya berjalan di atas kebimbangan. Ya, kebimbangan yang mulai menggelayut dalam kalbu. Sejumlah pertanyaan, apakah benar dia adalah jodohku atau bukan, menggema kuat dalam batin mereka, terutama Dianti yang ternyata juga bergelayut dalam noktah-noktah cinta yang mulai tumbuh dan bersemi dalam hatinya. Sebagai sahabat, Faruq pun mengarahkan agar mereka beristikhoroh, meminta petunjuk pada Allah, Sang Pemberi Petunjuk.
Dianti pun segera mengikuti saran Faruq untuk segera beristikhoroh.
“Duhai Allah, Robb Pemilik segala urusan di dunia ini. Dalam genggamanMulah hati manusia terletak. Dan dalam garis takdirMu lah jodoh akan tersingkap. Wahai Robb, kirimkanlah untukku seorang lelaki soleh yang akan menjadi imamku. Sdorang lelaki taat yang mampu memberikan ketentraman dalam batinku, yang bahunya akan menjadi sandaran teguh bagiku saat aku letih meniti hidup ini.
Ya Allah, Robb seluruh alam, bukan harapku cinta ini bersemi dalam kalbu. Bukan harapku pula cinta ini bersarang kuat dalam sanubariku. Tapi atas izinMu ya Allah, cinta ini hadir dan bersemayam indah dalam lubuk jiwaku. Tak mampu aku menolaknya dan tak kuasa pula aku menepisnya, cinta itu bersarang terlalu dalam di hatiku dan mengalir terlalu deras ke segenap aliran darahku.
Duhai Robb, Jika ta’aruf ini adalah baik bagiku, maka bawalah dia untukku, dekatkanlah aku padanya, dan pertemukanlah aku dengannya dalam suatu ikatan suci, pernikahan, agar sebilah tulang rusuknya yang hilang kembali terlengkapi.
Ya Allah Ya Rohman, telah Engkau hadirkan seorang lelaki soleh di depanku kini, jadikanlah lelaki soleh yang Engkau kirimkan itu sebagai imamku, peneman hidupku, untuk bersama-sama mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan. Jika memang dia baik bagiku maka dekatkanlah, namun jika dia hanya akan menjadi fitnah dan keburukan semata dalam hidupku, maka jauhkanlah kami. Lalu berikanlah seseorang yang jauh lebih baik dari lelaki manapun di dunia ini sebagai ganti terhadap dirinya.
Ya Allah Ya Rohiim, jadikan aku sebagai orang yang ikhlas atas segala kehendakMu dan orang yang ridho atas segala keputusanMu, karena aku hanya manusia biasa yang berjalan di atas garis takdirMu. Amiin.”
*****
Tiba-tiba,
“Faruq, maafkan aku, aku harus mengurus bapakku. Aku nggak bisa konsen melakukan apapun selama bapakku masih sakit, jadi aku harus pulang ke Gresik dan Surabaya untuk merawat bapak yang sudah dalam kondisi kritis. Tolong sampaikan ke Dianti, bahwa ta’aruf ini sementara waktu harus kutunda, aku hanya ingin berbakti kepada bapak untuk yang terakhir kalinya sebelum maut merenggut nyawanya.” Ucap Sersan di suatu siang saat lagi hangat-hangatnya ta’aruf yang sedang dijalaninya dengan Dianti.

Faruq dengan berat hati pun harus menyampaikan hal ini ke Dianti, penuh harapnya semoga Dianti bisa memahami apa yang tengah dialami Sersan saat ini. Dan perkenalan itupun terhenti sementara waktu sampai waktu yang tak bisa mereka tentukan.
*****
Kriiiiiiiiiing…. kriiiiiiiiiiing….
Dering suara ponsel mengalun merdu hari itu, tapi sama sekali tak ada respon dari sang empunya ponsel. Tak lama sang pemilik menelepon balik nomor yang telah menghubunginya tadi.
“Assalaamu’alaikum…maaf ini dengan siapa ya? Apa tadi Anda menghubungi nomor saya?” tanya pemilik ponsel tersebut.
“Wa’alaikum salam waroh matulloohi…Ooo..sebentar ya, mungkin tadi suami saya yang menghubungi Anda. Sebentar, saya panggilkan suami saya dulu,” jawab seorang wanita dari seberang telepon.
“Assalaamu’alaikum…halo…..,” terdengar suara seorang laki-laki datang dan mengambil alih telepon itu.
“Ya halo, wa’alaikum salam…hemmm, maaf apa tadi Anda menghubungi nomor saya? Maaf ini dengan siapa ya?” jawab pemilik ponsel yang menelepon balik tadi.
“Oo..iya, betul. Halo Dianti, ini aku, Sersan, apa kabar? Masih ingat aku kan? Kebetulan aku mau minta tolong nih.” terdengar suara laki-laki itu yang tak lain adalah Sersan menjawab pertanyaan dari sang penelepon yang tak lain adalah Dianti.
“Ya mas, alhamdulillaah baik. Maaf mas, siapa ya wanita yang mengangkat dan menjawab telepon saya tadi?” tanya Dianti kepada Sersan.
“Tadi itu istri saya, memang kenapa?” tandas Sersan menjawab pertanyaan Dianti yang penasaran dan ingin tahu.
“Apa, istri mas? Mas sudah menikah?” jawab Dianti dengan nada meninggi dan kaget.
“Ya, alhamdulillaah sudah, memang kenapa?” tandas Sersan lagi.
“Nggak mas, nggak apa-apa. Maaf mas, saya masih ada kesibukan, teleponnya saya tutup dulu ya. Wassalaamu’alaikum..” tiba-tiba Dianti coba menghentikan pembicaraan dan langsung menutup telepon.
Tak lama berselang, Dianti segera menghubungi Faruq menanyakan tentang kebenaran pernikahan yang telah dilakukan Sersan. Dengan berat hati Sersan pun membenarkan tentang hal itu sambil berkata,
“Maaf Dianti, kalau Sersan harus mengambil keputusan ini. Dia tidak bermaksud untuk menyakiti kamu. Beberapa bulan lalu bapaknya meninggal dunia, dan dia sangat terpukul akan hal ini. Perasaan bersalah selalu membayanginya sebab dia belum bisa memberikan yang terbaik untuk bapaknya. Dia merasa bahwa baktinya masih sangat kurang bila dibanding dengan kebaikan yang telah diberikan sang bapak kepadanya. Saat bapaknya sakit, dia berpikir belum maksimal untuk merawatnya. Sehingga agar tidak terjadi hal yang sama pada keluarganya, muncullah keinginan untuk memiliki seorang pendamping yang bisa merawat dan mengobati keluarganya kelak, terutama ibundanya. Dan akhirnya dia menemukan pendamping seperti yang diharapkannya, yaitu seorang dokter. Maafkan aku Dianti, berat bagiku untuk menyampaikan semua ini, tapi aku harus menyampaikannya. Mungkin dia belum jodohmu. Tapi percayalah bahwa akan ada lelaki terbaik yang pasti kamu dapatkan suatu saat nanti. Asalkan kamu tetap bersabar dalam menanti jodoh hidupmu, insya Allah.”
Isak suara menahan tangis terdengar dari bibir Dianti yang pilu. Bibir seorang wanita yang mengharapkan kasih sayang seorang lelaki yang telah meninggalkannya.
Tanpa Dianti sadari, sebenarnya Allah telah kabulkan doa dalam istikhoroh yang telah dilakukannya, menjauhkan Sersan darinya, sebab doa tidak harus berakhir bahagia dengan dipersatukannya cinta dua insan. Karena Allah lebih tahu rahasia dibalik cinta dan kehidupan manusia.
Kini dia berusaha kuat meredam cinta di atas pahitnya takdir yang dirasakannya, semoga akan ada lelaki lain yang lebih baik dari Sersan atau lelaki manapun dalam hidupnya yang kan bisa menjadi pangeran hati dan imam untuk dirinya kelak.




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/jawaban-istikhoroh-cinta.html

SEORANG AYAH BERTAUBAT DENGAN SEBAB ANAKNYA YANG MASIH BERUSIA 7 TAHUN

Satu lagi, kisah nyata di zaman ini. Seorang penduduk Madinah berusia 37 tahun, telah menikah, dan mempunyai beberapa orang anak. Ia termasuk orang yang suka lalai, dan sering berbuat dosa besar, jarang menjalankan shalat, kecuali sewaktu-waktu saja, atau karena tidak enak dilihat orang lain.
Penyebabnya, tidak lain karena ia bergaul akrab dengan orang-orang jahat dan para dukun. Tanpa ia sadari, syetan setia menemaninya dalam banyak kesempatan.
Ia bercerita mengisahkan tentang riwayat hidupnya:
“Saya memiliki anak laki-laki berusia 7 tahun, bernama Marwan. Ia bisu dan tuli. Ia dididik ibunya, perempuan shalihah dan kuat imannya.
Suatu hari setelah adzan maghrib saya berada di rumah bersama anak saya, Marwan. Saat saya sedang merencanakan di mana berkumpul bersama teman-teman nanti malam, tiba-tiba, saya dikejutkan oleh anak saya. Marwan mengajak saya bicara dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Mengapa engkau tidak shalat wahai Abi?”
Kemudian ia menunjukkan tangannya ke atas, artinya ia mengatakan bahwa Allah yang di langit melihatmu.
Terkadang, anak saya melihat saya sedang berbuat dosa, maka saya kagum kepadanya yang menakut-nakuti saya dengan ancaman Allah.
Anak saya lalu menangis di depan saya, maka saya berusaha untuk merangkulnya, tapi ia lari dariku.
Tak berapa lama, ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meskipun belum sempurna wudhunya, tapi ia belajar dari ibunya yang juga hafal Al-Qur’an. Ia selalu menasihati saya tapi belum juga membawa faidah.
Kemudian Marwan yang bisu dan tuli itu masuk lagi menemui saya dan memberi isyarat agar saya menunggu sebentar… lalu ia shalat maghrib di hadapan saya.
Setelah selesai, ia bangkit dan mengambil mushaf Al-Qur’an, membukanya dengan cepat, dan menunjukkan jarinya ke sebuah ayat (yang artinya):
”Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaithan” (Maryam: 45)
Kemudian, ia menangis dengan kerasnya. Saya pun ikut menangis bersamanya. Anak saya ini yang mengusap air mata saya.
Kemudian ia mencium kepala dan tangan saya, setalah itu berbicara kepadaku dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Shalatlah wahai ayahku sebelum ayah ditanam dalam kubur dan sebelum datangnya adzab!”
Demi Allah, saat itu saya merasakan suatu ketakutan yang luar biasa. Segera saya nyalakan semua lampu rumah. Anak saya Marwan mengikutiku dari ruangan satu ke ruangan lain sambil memperhatikan saya dengan aneh.
Kemudian, ia berkata kepadaku (dengan bahasa isyarat), ”Tinggalkan urusan lampu, mari kita ke Masjid Besar (Masjid Nabawi).”
Saya katakan kepadanya, ”Biar kita ke masjid dekat rumah saja.”
Tetapi anak saya bersikeras meminta saya mengantarkannya ke Masjid Nabawi.
Akhirnya, saya mengalah kami berangkat ke Masjid Nabawi dalam keadaan takut… Dan Marwan selalu memandang saya.
Kami masuk menuju Raudhah. Saat itu Raudhah penuh dengan manusia, tidak lama datang waktu iqamat untuk shalat isya’, saat itu imam masjid membaca firman Allah (yang artinya),
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (An-Nuur: 21)
Saya tidak kuat menahan tangis. Marwan yang berada disampingku melihat aku menangis, ia ikut menangis pula. Saat shalat ia mengeluarkan tissue dari sakuku dan mengusap air mataku dengannya.
Selesai shalat, aku masih menangis dan ia terus mengusap air mataku. Sejam lamanya aku duduk, sampai anakku mengatakan kepadaku dengan bahasa isyarat, ”Sudahlah wahai Abi!”
Rupanya ia cemas karena kerasnya tangisanku. Saya katakan, ”Kamu jangan cemas.”
Akhirnya, kami pulang ke rumah. Malam itu begitu istimewa, karena aku merasa baru terlahir kembali ke dunia.
Istri dan anak-anakku menemui kami. Mereka juga menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi.
Marwan berkata tadi Abi pergi shalat di Masjid Nabawi. Istriku senang mendapat berita tersebut dari Marwan yang merupakan buah dari didikannya yang baik.
Saya ceritakan kepadanya apa yang terjadi antara saya dengan Marwan. Saya katakan, “Saya bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah kamu yang mengajarkannya untuk membuka mushaf Al-Qur’an dan menunjukkannya kepada saya?”
Dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak tiga kali bahwa ia tidak mengajarinya. Kemudian ia berkata, “Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini.”
Malam itu adalah malam yang terindah dalam hidup saya. Sekarang -alhamdulillah- saya selalu shalat berjamaah di masjid dan telah meninggalkan teman-teman yang buruk semuanya. Saya merasakan manisnya iman dan merasakan kebahagiaan dalam hidup, suasana dalam rumah tangga harmonis penuh dengan cinta, dan kasih sayang.
Khususnya kepada Marwan saya sangat cinta kepadanya karena telah berjasa menjadi penyebab saya mendapatkan hidayah Allah.”




http://romdani45498.blogspot.com/2011/02/seorang-ayah-bertaubat-dengan-sebab.html