( Mengenang Hari Ibu 22 desember )
Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut
namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi
satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya
menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri
nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini
telah digenggamnya.
Bagaimana tidak, selama lebih dari seminggu Lutfia menggendong anaknya yang
berusia belasan tahun mengelilingi Kota Solo untuk mencari bantuan, sumbangan
dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais
kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang
untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.
Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat
lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota.
Tangannya terlihat genetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang
ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya.
Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya
pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik
matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya
yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.
Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang
kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang
takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang
makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak
henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga
harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat
yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi
cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak
peduli seberapa besar yang didapat.
Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak
pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan setiap
jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang
jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak
mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan setiap
hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.
Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan
mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah
menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga
ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia,
barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya
demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni
langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang
mengagumkan itu.
Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan
kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu?
http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/cinta-yang-takkan-pernah-mampu-terbayar.html