Coba ajukan pertanyaan kepada khalayak, "Di lingkungan ini siapa yang
tergolong miskin?". Bagi masyarakat yang benar-benar miskin sudah lumrah
untuk tunjuk tangan dan mengaku miskin karena keadaan sebenarnya memang
benar-benar miskin.
Hal itu bisa ditunjukkan dengan
kenyataan, misalnya ia tidak punya rumah, tinggal di sebuah rumah petak kecil,
tidak ada peralatan mewah di dalam rumahnya seperti televisi, tidak juga
memiliki kendaraan. Kepala keluarga dan anak-anaknya tak memiliki alat
komunikasi berupa telepon selular, pakaian seadanya, dan makan pun boleh
dibilang susah.
Tetapi sekadar diketahui, ada segolongan orang yang ketika mendapat
pertanyaan tersebut memiliki dua versi jawaban, tergantung kondisi dan maksud
apa pertanyaan tersebut diajukan. Jika maksudnya hanya untuk mengelompokkan
antara orang berkecukupan (baca: kaya) dan orang miskin, maka ia akan menjaga
gengsinya untuk berdiri di jajaran orang kaya. Namun kalau maksud pertanyaan
itu untuk mendata orang yang akan mendapatkan jatah sembako gratis, pengobatan
gratis, kompor gas dan tabung gratis, maka orang yang semula mengaku kaya pun
mendadak miskin.
Orang yang hidup berkecukupan dan bergelimang harta, kadang merasa iri kepada
orang miskin. Misalnya ketika ada pembagian kompor dan tabung gas sebagai
pengganti minyak tanah, ada orang yang marah karena tidak mendapatkan jatah.
Ketua RT dan RW-nya sengaja tidak mencantumkan namanya dalam daftar penerima
karena ia tergolong kaya. Padahal, ia sudah bertahun-tahun menggunakan kompor
gas. Kalau ingin mengganti, ia bisa membeli sendiri kompor yang baginya tak
seberapa harganya itu.
Sebaliknya, lebih banyak lagi orang miskin yang iri kepada orang kaya. Iri
melihat rumah tetangganya bagus dan setiap tahun direnovasi, tetangganya punya
mobil baru, ganti televisi, bisa pergi rekreasi setiap akhir pekan, pakaiannya
bagus dan mahal, dan hal-hal konsumtif lainnya.
Berbeda sekali dengan orang yang dianggap miskin di Kota Madinah di masa Rasulullah.
Di Kotas Madinah yang damai, beberapa orang miskin dari kaum Muhajirin menemui
Rasulullah. Di hadapan Rasul yang mulia tersebut, orang-orang itu mengadukan
sedikit kegundahan mereka. Tidak dalam nada protes, hanya sekedar lemohon
penjelasan.
“Wahai Rasulullah, alangkah beruntungnya orang-orang kaya, mereka bisa
berjuang seperti kami, akan tetapi mereka juga bisa berinfak dengan kekayaan
yang mereka miliki. Sementara kami tidak.” Begitulah keluhan yang orang-orang
miskin itu sampaikan kepada Rasulullah
Mendengar pengaduan itu, Rasulullah menjawab dengan penuh kasih sayang.
“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan yang bisa menjadikan diri kalian
seperti mereka? Bacalah, tasbih (Subhanallah) tiga puluh tiga kali, tahmid
(Alhamdulillah) tiga puluh tiga kali dan takbir (Allahu Akbar) tiga puluh tiga
kali usai shalat.”
Mendengar jawaban dari Rasulullah itu, orang-orang miskin itupun lega,
mereka pulang dengan membawa ketenangan dan kedamaian.
Tetapi beberapa waktu kemudian,
orang-orang kaya di Kota Madinah juga mendegar tentang amalan yan diajarkan
Rasulullah kepada orang-orang miskin itu. Dan, orang-orang kaya itupun membaca
wirid seperti yang dilakukan oleh orang-orang miskin itu. Mereka mengucapkan
tasbih, tahmid dan takbir setiap usai melaksanakan shalat.
Mendengar hal itu, orang-orang miskin di Kota Madinah kembali menghadap
Rasulullah, serta menjelaskan apa yang terjadi. Bahwa orang-orang kaya juga
melakukan apa yang mereka lakukan. Akhirnya Rasulullah pun memberi jawaban
bahwa itu adalah karunia yang diberikan Allah SWT. kepada siapa yang Ia
kehendaki.
Kisah ini sangat indah menggambarkan bermartabatnya orang-orang miskin di
masa itu. Apa yang mereka keluhkan di hadapan Rasulullah bukan perkara
kemiskinan dalam konteks konsumtif seperti tidak bisa makan enak, banyaknya
hutang, tidak punya pakaian bagus atau kendaraan. Mereka iri kepada orang kaya
karena selain bisa beribadah dengan tenang, orang kaya juga bisa berinfak
dengan kekayaannya. Orang-orang miskin di Kota Madinah itu sangat ingin memiliki
amalan seperti halnya orang kaya, hal itulah yang menjadi delik aduannya di
hadapan Rasul.
Kita sering merasa miskin, merasa tidak cukup dengan apa yang dimiliki serta
tidak pernah bersyukur atas anugerah yang Allah berikan. Yang kita ributkan
soal harta, makanan, pakaian, rumah, kendaraan, bukan perkara produktifitas
serta amalan kebaikan.
Orang-orang yang dianggap miskin, sesungguhnya kaya selagi mereka tak cepat
putus asa, tak selalu mengeluh dan menangisi nasib, tak mengemis dan selalu
berharap belas kasihan dari orang lain, tak menjadikan dirinya beban bagi orang
lain. Semasa rasa syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menjalani
kehidupan, dan menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung dan meminta,
mereka adalah orang-orang kaya.
Mereka menghayati betul firman Allah SWT, “Allah telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangat dhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim
: 34)
Meski kenyatannya mereka miskin, tetapi mereka kaya karena merasa cukup
dalam urusan dunia. Lebih kaya lagi karena memiliki senantiasa memiliki rasa
untuk iri kepada orang kaya dalam hal kebaikan, punya keinginan kuat untuk bisa
melakukan hal seperti yang bisa dilakukan orang-orang kaya dalam hal kebaikan.
Inilah yang disebut miskin bermartabat, yang tak menjadikan kemiskinan mereka
sebagai alasan untuk tidak berbuat kebaikan, apalagi menjadikan kemiskinan
sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu dengan cara meminta dan berharap belas
kasihan.
http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/miskin-tapi-bermatabat.html