Mengenai Saya

Foto saya
Pangandaran, West Java, Indonesia
Simple

Senin, 07 Mei 2012

Cinta dari Darah dan Ruh

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” Lalu Umarpun menjawab: “Tidak!Tidak Cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.

Tidak!Tidak!Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh.
Ketika sang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanah langit yang harus dipertanggung jawabkan diakhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya diakhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya “ Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam.” Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan do’a-do’anya : “Ya Allah, jadikanlah anakku sebagai sumber kebaikanku diakhirat kelak.”
Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu selamanya terkabul!



http://romdani45498.blogspot.com/2011/01/cinta-dari-darah-dan-ruh.html