Allohumma Sholly A’laa Sayyidina Muhammad …
Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai
perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah
yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
(QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus
juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan.
Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi
musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal
shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala
Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih
sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka
meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada
gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka
sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada
istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan
hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti
semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam
syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”
Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar
menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya
sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya
penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya
pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو
مسئول عنهم”
“Ketahuilah,
kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban
tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan
dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka“
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi
istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati
terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan
fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan
kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber
dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan
sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan
secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS
at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas
berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”
Syaikh Abdurrahman-berkata, “Memelihara diri (dari api neraka)
adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya,
serta bertaubat dari semua
perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan
anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada
mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah
Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika
dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya
sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu
‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma
masih kecil, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang
kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak
boleh memakan sedekah?”
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah
bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang
bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang
membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan
(dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar
mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan
melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan
besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam
keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan
anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya
bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan
maksiat manusia? Allah Ta’ala
berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”
(QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah,
maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku
istriku…“
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap
keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia
melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta
mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan
kepada-Nya. Allah Ta’ala
berfirman,
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا
الْمُتَّقِينَ}
“Orang-orang
yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama
lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS
az-Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di
dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian
dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang
karena-Nya
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang
hamba –dengan izin Allah Ta’ala–
akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan
pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap
orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena
itulah Allah Ta’ala
memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini
kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
“Dan (mereka adalah)
orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”
(QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas,
beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada
diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada
Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata
seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang
yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala“
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar
Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga
kita. Amien...
Ya Rabb kami, anugerahkanlah
kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا
أن الحمد لله رب العالمين
Wallohu A'lam
http://romdani45498.blogspot.com/2010/12/menjalin-cinta-abadi-dalam-keluarga.html